AKU
MENULIS MAKA AKU ADA
oleh: Fahad Aminudin
Setiap manusia sudah
terlahir dengan bakat dan potensinya masing-masing, dengan bakatnya itulah
manusia menjadi terpandang bahkan menjadi sorotan, tinggal bagaimana
kesungguhan seseorang mengasah bakat dan potensi yang dimilikinya tersebut,
ibarat pisau saja apabila semakin kita rajin dan sering diasah maka pisau itu
akan semakin tajam dan lebih bermanfaat untuk memotong sesuatu, sama halnya
dengan bakat manusia kalau sering diasah atau dilatih dan dikembangkan maka
akan lebih banyak manfaat. Semakin jarang diasah maka akan tumpul.
Salah satu potensi
yang ingin penulis angkat di mading edisi kedua ini adalah “potensi untuk menulis”,
kalau mading edisi sebelumnya tim redaktur mempropagandakan kepada para pembaca
untuk menulis, dan pada edisi kali ini adalah tentang keber-ada-an. Karena Dengan
menulis kita bereksistensi, dengan menulis kita ada, dengan menulis kita
dipandang. Bahkan seorang penulis yang sudah tiada (wafat), akan tetapi
sesungguhnya ia masih ada yaitu karya tulisannya yang tidak akan pernah mati.
Maka dari itu “Aku Menulis Maka Aku Ada”.
Bagaimana orang
mengetahui dan mengenal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali, Imam Syafi’i?
bagaimana antum-antum mengenal riwayat hidupnya, bagaimana antum-antum mengenal
gagasan-gagasan beliau? Jika pertanyaan itu dilontarkan ke antum-antum semua,
bermacam-macam jawaban dan pendapat akan muncul. Sedangkan beliau-beliau sudah tidak
ada lagi, dan kitapun tidak sempat hidup sezaman dengan mereka, tapi kenal
dengan mereka. Perlu diketahui sebenarnya sampai saat ini mereka masih ada. Mengapa?
Ada suatu jawaban pendek: “mereka ada karena mereka menulis”.
Setiap gagasan fiqih
mereka tulis dan mereka bukukan bahkan dicetak. Sampai saat inipun masih dapat
kita temukan karya mereka. Manusia zaman sekarang tidak bertemu mereka, tapi
bisa melihat dan membaca gagasan para imam tersebut. Bayangkan jika tidak
dituliskan, mungkin kita tidak akan bisa merasakan pemikiran fiqih para ulama
itu. Oleh karena itu “mereka menulis maka mereka ada”, dan mereka ada sampai
saat ini karena karya tulisan mereka.
Sekarang ini, banyak
orang yang lebih diakui bukan karena banyaknya kekayaan atau tingginya posisi
jabatan maupun pendidikannya, tapi berapa banyak karya yang dihasilkan atau
buku yang ia tulis. Seorang guru besar akan disegani lewat karya-karya
tulisnya. Bahkan, seorang artis saja akan mendapat nilai plus bila ia menulis
buku.
Maka dari itu menulis
adalah cara meng-ada secara abadi. Kita mengenal salah satu buku rujukan dengan
judul “Ihya Ulumuddin” (إحياء
علوم الدين) karya
Imam Ghazali, penulisnya sudah mati, namun buku-bukunya seakan mengabadikan
pengarangnya. Karyanya terus dibaca dan dijadikan referensi hingga sekarang.
Persis yang dikatakan oleh Pramoedya: “orang boleh pintar setinggi langit,
tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman, menulis adalah bekerja
pada keabadian”.
Mengutip perkataan Al-Ghazali, “Kalau
engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”.
Bakat menulis yang sudah ada dalam diri kita butuh terus diasah. Menulis adalah
kegiatan yang mulia.
So, kenapa anda tidak menulis?
(pen_fahad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar