Sabtu, 06 April 2013

AKU MENULIS MAKA AKU ADA


AKU MENULIS MAKA AKU ADA
oleh: Fahad Aminudin

Setiap manusia sudah terlahir dengan bakat dan potensinya masing-masing, dengan bakatnya itulah manusia menjadi terpandang bahkan menjadi sorotan, tinggal bagaimana kesungguhan seseorang mengasah bakat dan potensi yang dimilikinya tersebut, ibarat pisau saja apabila semakin kita rajin dan sering diasah maka pisau itu akan semakin tajam dan lebih bermanfaat untuk memotong sesuatu, sama halnya dengan bakat manusia kalau sering diasah atau dilatih dan dikembangkan maka akan lebih banyak manfaat. Semakin jarang diasah maka akan tumpul.
Salah satu potensi yang ingin penulis angkat di mading edisi kedua ini adalah “potensi untuk menulis”, kalau mading edisi sebelumnya tim redaktur mempropagandakan kepada para pembaca untuk menulis, dan pada edisi kali ini adalah tentang keber-ada-an. Karena Dengan menulis kita bereksistensi, dengan menulis kita ada, dengan menulis kita dipandang. Bahkan seorang penulis yang sudah tiada (wafat), akan tetapi sesungguhnya ia masih ada yaitu karya tulisannya yang tidak akan pernah mati. Maka dari itu “Aku Menulis Maka Aku Ada”.
Bagaimana orang mengetahui dan mengenal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali, Imam Syafi’i? bagaimana antum-antum mengenal riwayat hidupnya, bagaimana antum-antum mengenal gagasan-gagasan beliau? Jika pertanyaan itu dilontarkan ke antum-antum semua, bermacam-macam jawaban dan pendapat akan muncul. Sedangkan beliau-beliau sudah tidak ada lagi, dan kitapun tidak sempat hidup sezaman dengan mereka, tapi kenal dengan mereka. Perlu diketahui sebenarnya sampai saat ini mereka masih ada. Mengapa? Ada suatu jawaban pendek: “mereka ada karena mereka menulis”.
Setiap gagasan fiqih mereka tulis dan mereka bukukan bahkan dicetak. Sampai saat inipun masih dapat kita temukan karya mereka. Manusia zaman sekarang tidak bertemu mereka, tapi bisa melihat dan membaca gagasan para imam tersebut. Bayangkan jika tidak dituliskan, mungkin kita tidak akan bisa merasakan pemikiran fiqih para ulama itu. Oleh karena itu “mereka menulis maka mereka ada”, dan mereka ada sampai saat ini karena karya tulisan mereka.
Sekarang ini, banyak orang yang lebih diakui bukan karena banyaknya kekayaan atau tingginya posisi jabatan maupun pendidikannya, tapi berapa banyak karya yang dihasilkan atau buku yang ia tulis. Seorang guru besar akan disegani lewat karya-karya tulisnya. Bahkan, seorang artis saja akan mendapat nilai plus bila ia menulis buku.
Maka dari itu menulis adalah cara meng-ada secara abadi. Kita mengenal salah satu buku rujukan dengan judul “Ihya Ulumuddin” (إحياء علوم الدين) karya Imam Ghazali, penulisnya sudah mati, namun buku-bukunya seakan mengabadikan pengarangnya. Karyanya terus dibaca dan dijadikan referensi hingga sekarang. Persis yang dikatakan oleh Pramoedya: “orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman, menulis adalah bekerja pada keabadian”.
Mengutip perkataan Al-Ghazali, “Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Bakat menulis yang sudah ada dalam diri kita butuh terus diasah. Menulis adalah kegiatan yang mulia.
So, kenapa anda tidak menulis? (pen_fahad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar