Kamis, 10 November 2011

Bayani, Irfani, dan Burhani

Salah satu pemikir Arab yang banyak dijadikan rujukan dalam pembaruan dalam Islam adalah Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Pemikir asal Maroko ini baru saja meninggal 3 Mei 2010 lalu, pada usia 75 tahun. Di Indonesia, ide-idenya banyak dikaji. Sebagian kalangan – tanpa mengkaji dengan cermat – bahkan ada yang menelan mentah-mentah gagasan Jabiri tentang kategorisasi episteme, yaitu metode Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.
Mulanya, Jabiri tidak ikut-ikutan mengkritik al-Quran, sebagaimana pemikir liberal lainnya. Tapi, pada 2006,  terbit bukunya, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, yangmengisyaratkan ada yang “tercicir” dari al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim sekarang ini.
Dalam analisis dan usulannya, Jabiri banyak mengadopsi perangkat dan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani.
Inti kajian Jabiri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan banyak pemikir liberal lain, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Ia menolak metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks. Jabiri pun ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui karya monumentalnya, al-Risalah.
Al-nizam al-‘ma’rifi al-bayani dikembangkan oleh para fuqaha’. Sistem berpikir ini sangat bergantung pada teks; teks berada diatas akal (filsafat). Ilmu fiqh, Tafsir, Filologi, merupakan produk episteme ini yang disebutnya sebgai al-ma’qul al-dini (rasionalitas keagamaan). Karakteristik utama episteme ini adalah ketergantungannya pada teks, bukan pada akal. Yang dimaksudkannya dengan teks disini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Episteme ini menurut Jabiri sangat kuat sekali mendominasi pemikiran Arab Islam sehinggakan sejak dari awal kelahirannya sampai sekarang ia tidak menglami perkembangan.
Jabiri juga mengkritisi metode Irfani yang dia asosiasikan dengan Syi’ah dan kaum Sufi. Disini, dia mengkritisi habis-habisan Ibn Sina dan al-Ghazali, dua tokoh yang selama ini dianggap antagonis. Menurutnya kedua pemikir inilah yang bertanggung jawab memasukkan sistem berpikir irfani ini kedalam ranah pemikiran Islam yang sekaligus menjadikan akal Arab-Islam itu mandek.  
Adapun episteme burhani adalah episteme yang dibangun oleh filsafat Arab yang berekembang si Afrika Utara dan Spanyol. Ibn Rushd dianggap sebagai sosok yang paling sempurna merepresentasikan tipe burhani ini. Tipologi sistem ini tidak berpegang pada nash semata, juga tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn Rushd dan eksperimen-nya Ibn Khaldun. Sesungguhnya, katanya lagi, inilah yang membuat Barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat dengan jitu mengaplikasikan semangat rasionalisme Ibn Rushd dan empirisismenya dalam sistem peradaban mereka. Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita harus dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga empirisisme.
Dengan mengagungkan Ibn Rusyd, sebenarnya Jabiri ingin mengatakan bahwa kemajuan itu hanya bisa ditempuh dengan rasionalisme. Baginya, akallah yang bisa mengantar peradaban manusia ke puncak kegemilangannya. Sayangnya,”akal”  yang disebut Jabiri itu  adalah akal yang dikonsepsikan oleh Barat, yaitu akal positivis yang hanya berpaut pada data-data eksperimental. Disamping itu Jabiri sepertinya sengaja melupakan bahwa rasionalisme abad Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.
Jabiri juga lupa, bahwa  revolusi sains (sceintific revolution) terjadi di Barat karena orang-orang seperti Bacon, Descartes, dan Newton melakukan terhadap teori-teori fisika Aristotle. Artinya Barat maju bukan karena mereka mengadopsi padangan-pandangan Ibn Rusyd yang Aristotelian, tapi sebaliknya, sains mereka berkembang justru karena mereka meninggalkan teori-teori fisika Aristotle.
Meskipun sempat menarik banyak perhatian, gagasan pembaruan Jabiri pun menuai banyak kritik mendasar. Misalnya,  untuk mempertahanakan rasionalitas mazhab ala Arab Maghribi, dimana dia menjadi bagian daripadanya, Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats yang hanya mendukung pendapatnya saja. Lebih fatal lagi, menurut George Tarabisi, Jabiri telah melakukan praktik plagiat,  karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,  meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain -- secara sadar atau tidak --  sesuai dengan keinginannya. Kajiannya tidak orisinil. Oleh sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab centrism. (Ali Harb, Naqd al-Nass (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993)).
Toha Abdurrahman, dalam Kitabnya, Tajdid, misalnya, adalah salah seorang yang paling kritis menilai bangunan epistemologi dan metodologi Jabiri dalam mengkritisi turats. Bahkan, ia berkesimpulan, Jabiri sendiri inkosisten. Jabiri mengajak untuk membaca turats secara komprehensif. Tapi, ia sendiri membaca turats dengan parsial. Kata dia, epistemologi Bayani, misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam. Sementara metode Irfani melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Itu artinya, dia bersikap parsial (tajzi’iyyah). Padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Artinya,  seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka Bayani, Irfani, dan Burhani. Seorang al-Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran Ghazali kepada bentuk Bayani dan Irfani, dan tidak Burhani sama sekali.
Masih banyak lagi kelemahan-kelemahan model yang ditawarkan Jabiri untuk mengkaji Turats yang telah dibahas oleh para intelektual lain.  Sehingga Prof. Nuruddin al-Ghadir berkesimpulan bahwa sesungguhnya buku-buku Jabiri itu tidak layak terbit, karena pada prinsipnya kajian-kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya. Ghadir menuliskan “berdasarkan fakta ini,  proyek Jabiri pada akhirnya hanya akan mencabik-cabik turats,  bahkan mencabik ekistensi budaya ummat Islam.” (wa bihadha fainna al-Jabiri fi nihayah mahsru’ihi yasilu ila tajazzu’i al-turats fi ab’ad mustawiyatihi, bal wa tajazzu’i kiyan al-ummah al-islamiyyah al-thaqafi).
Jadi, memang patut disayangkan, orang seperti Jabiri akhirnya bukan berhasil melakukan tajdid, tetapi ia pun tenggalam dalam taghrib (pem-Barat-an) Islam

Minggu, 14 Agustus 2011

Dunia Senja

Dunia Senja

MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN


MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN

A.    Pendahuluan: Kelahiran Dinasti Umayyah
Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dengan konflik-konflik politik yang terjadi dengan pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) atau dengan kaum Khawarij. Penumpasan tersebut banyak menyedot kekuatan pemerintah. Akan tetapi dalam makalah yang sangat sederhana ini tidak dibicarakan secara rinci tentang konflik-konflik politik yang terjadi ketika itu. Namun, akan lebih banyak membicarkan tentang panggagas daulah ini, yaitu Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
Mua’awiyah[1] telah dinobatkan sebagai Khalifah di yerussalem pada tahun 40 Hijriah yang bertepatan dengan 660 Masehi. Dengan penobatan itu, ibu kota provinsi Suriah, Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah, mu’awiyyah memiliki kekuasaan yang terbatas karena beberapa wilayah Islam tidak mengakui kekhalifaannya.[2] Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abdi Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.[3]
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan Islam dipegang oleh Abu Bakar as-Siddiq dan Bani Umayyah merasa bahwa kelas mereka di bawah kelas kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka harus menunjukkan perjuangan mereka dalam membela Islam untuk memiliki kelas yang setingkat. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, mereka dikirim ke Suriah untuk berperang melawan Bizantium. Atas jasanya, Yazid bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur disana.
Pada masa pemerintahan Usamn bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur di Suriah menggantikan saudaranya. Selain itu, Bani Umayyah menjadi penguasa disana.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merupakan awal dari kehancuran umat Islam. Hal ini dikarenakan Muawiyah bin Abu Sufyan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika menangani kasus pembunuhan Usman bin Affan. Golongan ini merasa sangat kecewa dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Akhirnya perselisihan ini memuncak menjadi Perang Jamal. Pereselisihan antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah tidak berakhir sampai disitu, akan tetapi perselisihan ini memuncak menjadi Perang Shiffin. Dalam perang itu terjadi peristiwa Tahkim atau Arbitrase.akan tetapi peristiwa ini memunculkan satu golongan yang disebut dengan golongan Khawarij.[4] Golongan ini adalah orang-orang yang kecewa dengan peristiwa Tahkim tersebut dari pihak Ali bin Abi Thalib.
Sebelum Muawiyyah mengambil alih jabatan Khalifah daripada Hassan Ibn Ali, telah berlaku konflik antara Muawiyyah dan Saidina Ali sehingga berlakunya Perang Siffin di tebing sungai Furat pada 13 Safar 37H. Konflik ini adalah rentetan daripada peristiwa pembunuhan Usman, dan akhirnya Ali gagal menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kehendak Muawiyyah. Saidina Ali juga mempunyai alasan tertentu yang menyebabkan baginda tidak dapat bertindak balas terhadap pembunuhan tersebut.
Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy'ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung.[5] Dan dari konflik inilah yang akhirnya melahirkan daulah Umayyah yang digagas pertama kali oleh Mu’awiyyah.

B.     Mu’awiyah Bin Abi Sufyan
1.      Biografi Singkat
Muawiyah bin Abu Sufyan (602680, umur 77–78 tahun) merupakan penggagas pertma dinasti Bani Umayyah. Dan  khalifah pertama dari Bani Umayyah bergelar Muawiyah I. Lahir pada tahun 602 Masehi dan meninggal pada tanggal 6 Mei 680 M. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier. Bapanya Abu Sufyan ibn Harb merupakan salah seorang pemimpin Quraysh yang terkemuka di kota Makkah terutama sebelum beliau memeluk Islam. Abu Sufyan juga ketua kaum musyrikin Makkah yang menjadi punca berlakunya perang Badar dan menjadi ketua kaum Quraysh Makkah dalam perang Uhud. dan Ibunya bernama Hindun binti Utbah.[6]
Mu’awiyyah memerintah daulah ini selama 20 tahum dari tahun 41 H-60 H, dan masuk Islam ketika Rasulullah melakukan Fathu Makkah. Sedangkan Abu Bakar As-Shiddiq telah memilih Yazid bin Abi Sufyan sebagai salah satu pemimimpin pasukan dari empat pasukan untuk pergi ke Syam. Akan tetapi ketika itu Yazid Bin Abi Sufyan tidak hadir, dan akhirnya Abu Bakar memilih Mu’awiyyah untuk menggantikannya, dan Yazid akhirnya dituntut sebagai soerang hakim di Damaskus. Mu’awiyyah adalah seorang yang kuat pendiriannya dan sangat disukai oleh Abu Bakar.[7]

2.      Sistem Pemerintahan: Sistem Monarki
Sepengetahuan penulis, dan dengan didapatkan penulis dari beberapa makalah yang diposting di website dan buku-buku, bahwa pada masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi berbentuk khilafah setelah meninggalnya Khalifah Ali Bin Abi Thalib, akan tetapi berbentuk pemerintahan kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun, sehingga demokratis berubah menjadi monarchiheridetis kerajaan turun temurun. Dalam sejarah perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.[8] Dan penulis akan mencoba mendeskripsikan system pemerintahan tersebut.
Ali bin Abi Thalib meninggal dibunuh oleh salah seorang dari kelompok Khawarij pada tahun 661 M. Meninggalnya Ali bin Abi Thalib membuat Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah yang baru dengan berpusat di Damaskus, Suriah. Akan tetapi, Hasan bin Ali, putra Ali bin Abin Abi Thalib, tidak mau mengakuinya. Hal ini mulai menyulut pertentangan dikalangan umat Islam. Akhirnya Hasan bin Ali membuat perjanjian damai dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini dikenal dengan Aumul Jama'ah dan terjadi pada tahun 41 atau 661 M.
Perjanjian itu dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam suatu kepemimpinan politik,dibawah Muawiyah bin Abu Sufyan. Di sisi lain perjanjian itu menyebabkan Muawiyah menjadi penguasa absolute dalam Islam. Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun dengan empat belas khalifah.[9]
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[10] Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai.


C.    Penutup
Sistem pemerintahan khalifah melalui garis keturunan yang digencangkan oleh Mu’awiyah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan senioritas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah, menyababkan terjadinya persaingan tidak sehat.
Selain itu secara singkat, penulis dapat menyampaikan bahwa kronologi Bani Umayyah ketika pemerintahan Mu’awiyyah dapat dirangkum sebagai berikut: pada tahun 661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah, kemudian pada tahun 670 M- Perluasan sampai ke Afrika Utara, kemudian dilanjutkan dengan penaklukan Kabul pada tahun 677 M- serta penaklukan Samarkand dan Tirmiz dan juga serangan ke Konstantinopel. Lalu pada tahun 680 M- setelah kematian Muawiyah akhirnya Yazid I menaiki takhta dan juga terjadinya peristiwa pembunuhan Husain.
Dan dengan makalah yang sangat sederhana inilah yang mungkin bisa penulis sampaikan, dan tentunya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.

Referensi
KH. Imam Subakir Ahmad, Taarikh Al-Hadharah Al-Islamiyah, (Ponorogo: Percetakan ISID, 2009)
Philip K. Hitti, History of Arabs: From the Earliiest Times to the Present, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2008)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1999)
Mursi, Muhammad Sa'id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007)
Dikutip dari Mata Kuliah: Tarikh Islam Sejarah Bani Umayyah Universitas Islam Indonesia dalam bentuk PDF. Hal: 8
http://www.dakwah.info/component/jforms/1/141?view=form
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah

شروط المفسِّ


شروط المفسِّر
أ‌.         المقدمة
أنزل الله كتابه العظيم ليكون دستورا للمسلمين, ومنهجا يسيرون عليه في حياتهمو فيستضيئون بضيائه, ويهتدون بهديه, ويقبسون من تعاليمه الرشيدة, ونظمه الحكيمة ما يجعلهم في أوج السعادة والعزة. ولا ريب أن البشرية تتخبط اليوم في ظلمات الشقاوة والجاهبية, وتغرق في بحار التحلل وعبادة المال, وليس لها من منقذ إلا الإسلام عن طريق الاسترشاد بتعاليم القرآن ونظمه الحكيمة.[1]
ومن البدهي أن العمل بهذه التعليم لا يكون إلا بعد فهم القرآن وتدبره والوقوف علي ما حوي من نصح وإرشاد, وهذا لا يتحقق إلا عن طريق الكشف والبيان, لما تدل عليه آيات القرآن وهو ما نسميه بعلم التفسير, خصوصا في هذه العصور الأخيرة التي فسدت فيها ملكة البيان العربي.[2]



ب‌.   التعريف بالتفسير و المفسر
وقبل أن ألقي الشروط أو الأمور التي يجب علي المفسر, أريد أن أبين أولا عن التعريف بالتفسير لغة و اصطلاحا. أن التفسير في اللغة هو الايضاح والتبيين, ومنه قوله تعالي: Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur [3]#·ŽÅ¡øÿs? أي بيانا وتفسيلا, وهو مأخوذ من الفسر وهو الإبانة والكشف.[4]

Samakah Maqamat wal Ahwal (Tasawwuf) dengan Konversi (Psikologi) 

Manusia adalah makhluk yang mempunyai dimensi ganda (double dimension) yaitu dimensi ruhani dan dimensi jasmani, yang lahir dalam fitrah. Yang dimaksud dengan fitrah disini bukan hanya sekedar bersih dari noda ataupu dosa, namun dilengkapi dengan seperangkat potensi kodrati yang bersifat spiritual.
Jika manusia di dalam dirinya memiliki potensi kebaikan dan keburukan, kesempurnaan dan kekurangan. Baik itu berawal dari keburukan dan berpindah keadaan menuju kebaikan ataupun sebaliknya, tentunya banyak teori yang berbicara mengenai hal ini, baik dalam wacana tasawuf maupun psikologi.
Sepanjang ini orang-orang mengatakan bahwa discourse antara tasawuf dan psikologi masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk tidak mengatakan ada dikotomi atau wilayah sendiri-sendiri antar keduanya. Tasawuf ditempatkan sebagai barisan dari disiplin ilmu keagamaan yang lebih bersifat adikodrati sehingga hanay mungkin didekati dengan pendekatan spiritual, sedangkan psikologi dianggap sebagai entitas dari representasi keilmuan yang selalu bersifat empiris-reaalistis yang tentu tidak naymbung dengan tasawuf. Pandangan inilah yang akan saya coba mendialogkan antar keduanya dengan berbagai perbedaan dan kesamaan.
Peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada dalam bingkai tasawuf sebenarnya tidaklah jauh hubungannya dengan pandangan psikologi,yang juga mengungkapkan konsep-konsep yang hampir memiliki kesamaan keduanya. Salah satunya adalah mengenai maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf dengan konversi (convertion) dalam tradisi psikologi. Mungkin ini adalah salah satu wacana yang kemungkinan akan menjadi pembahasan yang menarik bila wacana tersebut diteliti secara ilmiah.

Apa dan Mengapa Filsafat Perennial


Apa dan Mengapa Filsafat Perennial : Menelusuri Jejak Jalan Dalam Konteks Agama-Agama[1]

Judul Buku                  : Agama Masa Depan Perspektif  Filsafat Perennial
Penulis                         : Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Jumlah halaman           : 248 halaman

Makalah  ini merupakan review artikel dari buku Agama Masa Depan Perspektif  Filsafat Perennial karya Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, khususnya bab pertama yang berjudul “Filafat Perennial: Apa dan Mengapa”. Bab pertama ini, secara umum, menguraikan pengertian, pendekatan serta kawasan yang akan dikaji dalam filsafat Perennial.
Dari sudut bahasa, perennial berasal dari Latin perennis, yang kemudian setelah itu diadopsi kedalam bahasa Inggris yang berarti abadi, atau kekal, selama-lamanya.[2] Istilah ini membicarakan tiga agenda meliputi:
pertama tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, sumber dari segala wujud. Tuhan yang Maha Besar adalah satu, sehingga agama yang muncul dari Yang Satu pada prinsipnya sama karena datng dari sumber yang sama.(p. 39)
Kedua, filsafat perennial ingin membicarakan tentang fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Meskipun agama (Religion) dengan A dan R besar, yagn benar hanya satu. Sedang dewasa ini para tokoh agama dan intelektual yang berusaha mengatasi perseoalan tersebut dengan mengembangkan wcana pluralism. (p.39) Ungkap Nurcholis Madjid, jika sebuah agama diyakini sebagai suatu kebenaran oleh pemeluknya, apakah berarti agama yang lain salah dan terkutuk di mata Tuhan? Karena pliralitas agama merupakan kenyataan yang tak dapat diingkari dan merupakan fitrah Allah yang perennial.[3]
Ketiga, filafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui symbol-simbol, ritus serta pengalaman keberagaman. Dengan begitu secara metodologis filsafat perennial berhutang pada apa yang disebut sebagai transcendental psychology.(p. 40)
Di dalam bab I ini akan dikaji terlebih dahulu mengenai apa itu pengertian dari filsafat perennial, sejarahnya serta ruang lingkupnya.

A.    Sejarah Munculnya Filsafat Perennial
Istilah filasafat perennial diduga pertama kalinya digunakan oleh orang barat bernama Augustinus Steuchus (1497-1548), istilah ini digunakan olehnya sebagai judul karyanya yang berjudul De perenni philosophia diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut kemudian pupuler setelah digunakan oleh Leibnitz dalam sepucuk suratnya yang ditulisnya pada tahun 1715, yang mana didalam sepucuk surat tersebut menegaskan bahwa dalam membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenranan di kalangan para filosop kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap. Sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial. (p. 40)
Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus dan Leibnitz, pada awal abad 20, Coomaraswamy dan Guenon menawarkan gagasan alternatif dengan menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama. Nilai-nilai tradisi ini mereka sebut philosophia perennis (filsafat abadi), yang mengandung arti sebagai suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi. Sedang agama Hindu telah menggunakan istilah lain yang sinonim dengan philosophia perennis yaitu dengan istilah Sanatana Dharma dalam agama Hindu, dan al-Hikmah al-Khalidah atau al-Hikmah al-Laduniyyah dalam agama Islam yang mana  telah dikenal lewat karya Ibnu Maskawaih (Javidan Khirad dalam bahasa Persia), yang telah begitu panjang lebar memebicarakan filsafat perennial.
Dengan demikian filsafat perennial secara sederhana bisa kita sebut sebagai suatu pandangan yang sebenarnya secara tradisional sudahmenjadi pegangan dan pandangan hidup serta dipelihara oleh mereka yang menyebut dirinya sebfgai “penganut hikmah”,[4] para gnostis kalau dalam istilah Kristen dan para sufi kalau dalam istilah Islam, dalam definisi teknisnya pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada.[5] Aldous Huxley memberikan definisi yang lebih jelas bahwa filsafat perennial adalah: pertama, metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu, kehidupan dan pikiran. kedua, suatu psikologi ysng memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan Ilahi itu. dan ketiga, etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat imanen maupun transenden mengenai seluruh keberadaban.[6]
Dalam buku ini, Komaruddin Hidayat dan rekannya, Wahyuni Nafis mengatakan bahwa inti pandangan Filsafat perennial adlah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik ada suatu pengetahuan dan pesan keagaamaan yang sama. Yang mana muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. (p. 41)
Dalam agama Hindu dan Buddha ada yang disebut Sanata Dharma yaitu kebajikan abadi yang harus menjadi dasar komtekstualisasi agama itu dalam situasi apapun, sehingga agama selalu memenifestasikan diri dalam bentu etis dalam keluhuran hidup manusia. Dalam Taoisme ada yang disebut Tao sebgai asas kehidupan manusia yang harus diikuti kalau ia mau natural sebagai manusia. Dalam Islam ada al-din  yang berarti ikatan yang harus menjadi dasar dalam beragama bagi seorang muslim. Namun berbagai nama dan bungkus tersebut, tetap bukanlah merupakan tujuan, melainkan lebih merupakan satujalan agar menusia bisa terbebas dari belenggu-belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan dan bisa mencapai kehidupan primordial yang meruipakan kehidupan alami manusia. (p. 41)
Karya Steuchus De Perenni Philosophia telah mempengaruhi banyak orang antara lain Ficino dan Pico. Bagi Ficcino filsafat perennial disebutnya sebagai filsafat kuno yang antik (philosophia priscorium) atau prisca theologi, yang berarti filsafat atau teologi kuno yang terhormat. Dalam karyanay ini, Sateuchus menegaskan bahwa wisdo itu berasal dari membicarakan yang ilahi, yaitu pengetahuanyang suci (sacred knowledge) yang diberikan Tuhan kepada Adam, yang bagi kebanyakan orang secara perlahan sudah banyak dilupakan dan dialihkan kepada hidup yang penuh dengan mimpi. Agama atau filfsafat yang benar ini yang brsifat theosis atau orientasai ketuhanan,dan pencapaian pada sacred knowledge telah berda sejak mausia ada, dan bisa dicapai memlalaui ekspresi sejarah, tradisi atau dengan intuisi intelektual dan kontemlasi filosofis. (p. 41-42)
Penulis menjelaskan bahwa filsafat perennial juga bisa disebut sebgai tradisi dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksudkan adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek dan semua percabangannya. Sednagkan disebut sebagai al-sunnah karena perennial sendiri mendasarkan atas segala sesutau tas model-model sakral yang sudah menjadio kebiasaan turn-temurun dari kalangan masyarakat tradisional. Dan juga disebut al-silsilah karena alasan bahwa perennial juga merupakan rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan danpemikiran di dunia tradisional kepada sumber segala sesuatu, seperti halnya yang telah terlihat jelas di dlama dunia Tasawwuf. (p. 42)
Penulis juga sepakat untuk meminjam dari istilah yang digunakan oleh Sayyid Hossein Nashr yang mengatakan, ibarat sebuah pohon, yang akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan darinya tumbuh batng dan cabng-cabangya sepanjang zaman. Dengan demikian filsafat perennial adalah tradissi yang bukan dalam pengertian mitilogi yang sudah kuno yang hanya berlaku bagi suatu masa kanak-kanak, melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang benar-benar riil. (p. 42) Nasr melihat perbedaan di antara agama sebagai ketentuan Ilahi lantaran perbedaan-perbedaan manusia, ia mengklaim bahwa perbedaan eskatologis dari semua agama adalah “benar dalam semesta spiritual mereka sendiri”. [7]

B.     Perjalanan Dari Partikularitas Menuju Universalitas
Pembicaraan kita mengenai filsafat perennial pada kali ini tidak dipahami sebagai paham atau filsafat yang berpandangan bahwa semua agama adalah sama. Suatu pandangan bahwa agama adalah sama, sama sekali menghormati religiositas yang partikular. Akan tetapi filsafat perennial yang berpandangan bahwa kebenran mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancarkan berabgai kebenaran (truth) sebagaiaman matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. (p. 45)
Hakikat dari cahaya adalah satu dan tanpa warna, akan tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkapoleh mata manusia dalam kesan yang beranekan warna. Ini menjelaskan meskipun hakiakat agama yang benar itu hanya satu, tetapi karana agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. (p. 45) Dengan kata lain, bahwa pesan kebenaran yang Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka setiap nbentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitsa dan pada waktu yagn sama bahasa dan nilai agama yang tarwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan pengelompokan ideologis.
Proses pelembagaan perilaku keagamaan, jelas diperlukan antara lain untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka memebangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadispirirt agama yang paling “hanif” lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada taraf ini sangat mungkin orang dapat tergelincir utnuk menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri, bukan bagi agama yagn asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari. (p. 46)
Yang lebih dominan dalam tradisi studi keagamaan yang banyak kita saksikan selama ini adalah orang cenderung membatasi pada pendalaman terhadap agama yang dipeluknya tanpa melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhasdap agama orang lain. Mungkin saja hal ini disebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang diperlukan. Penyebab yan lain bisa jadi juga karena studi agama di luar yang dipeluknya dinilia kurang manfaat atau bahkan bisa merusak keyakinan yang telah dibangun dan dipeluknya bertahun-tahun yang diwarisi dari orang tua. Dengan begitu bahwa filsafat perennial bahkan justru ingin mencari universalitas substansi agama melalui pendekatan apresiatif terhadap partikularitas bentuk agama-agama yang diwahyukan Tuhan dalam rentangan sejarah. (p. 46-47)
Mengingat bahwa semua agama mengajarkan prinsip keadilan, bersikap adil, dan berbaik sangka dalam memberi penilaian terhadap agama-agama yang ada. Itulah langkah awal yang harus ditempuh atau yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi perbandingan agama. Ketika sikap dan kerangka konseptual yang dipakai dipandang tidak adil dan tidak tepat, maka haruslah diajukan, paling tidak untuk mempertimbangkan secara serius suatu pandangan lain, suatu pandangan yang bisa diterima semuanya, yaitu suatu pendekatan yang universal dan substantif. Pendekatan yang dimaksudkan disini adlaah pendekatan yang mencurahkan perhatian pada agama dalam realitas trans-historis dan metafisis, bukannya terpaku pada pendekatan akademik historistis.

C.    Tumbuh kembanganya Pintu Kebenaran
Sikap ekslusifisme-teologis dalammemandang perbedaan dan pluralitas agama tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi jugamerugikan diri sendiri karena sikap semacam ini sesungguhnya mempersempit bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya. Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami deviasi atau penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika tidak berarti pasti masuk neraka. Merupakan sikap yang jangan-jangan malah menjauhkan dari substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran. (p. 50)
Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada pemeluk agama lain tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas seagama. Baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarahmembuktiakan pada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran (teologi) dengan aliran yang lain. Bentrokan semacam ini menjadi semakin seru ketika ternyata yang muncul dan yang mengendalikan isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Tidak jelas mana yang benar, apakah berawal dari politik, kemudian timbul perpecahan yang kemudian perpecahan tersebut memperoleh justifikasi teologis? Atau sebaliknya, berawal dari pemahaman teologi kemudian masuklah unsur-unsur politis di dalamnya? (p. 51)
Simbiose pandangan politis teologis ini yagn selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekskludif dan potensial bagi munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran suci. Untuk itu, di masa depan kita memerlukan pragdigma teologi baru yang lebih memungkinkan untuk melakukan hubungan yang dialogis dan cerdas baik antar umat beragama maupun antara umat bergama dengan kaum humanis sekuler. Bukankah dalam banyak hal mereka yang mengaku humanis sekuler itu telah bejasa bagi para pemeluk agama maupun kemanusiaan secata umum? Bisa jadi banyak orang akan menilai bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh filsafat perennial bersifat utopis, tidak realistis, platonis dan semacamnya. Bukanah agama sebgai realitas sosial dan historis selalu bersuara gansda dan penuh ambigusitas, antara mengajak pada perdamaian dan sekaligus juga memacu peprangan? Belumkah cukup bukti bahwa sepeninggal para Rasul Tuhan dan para Avatara bentrokan anatar para murid ataupun para sahabat segera menyusul di belakangnya? Benarkah hal semacam ini merupakan cacat bawaan agama? Atau adakah setiap agama memiliki Tuhan sendiri yaitu Tuhan pencemburu (the Jealous God). (p. 51-52)
Data historis seperti disebutkan di muka memang tidak munkin dihapus. Justru klarena itulah kita dibuat nerpikiir ulang utnukmenemukan esensi agama dan keberagamaan tanpa menafikan faktor pemelulknya sebgai makhluk historis yang sudah terjauhkan dari taman surgawi karena memakan buah terlarang. Filsafat perennial berpandangan bahwa sesungghuhnya di balik bentrokan dan hiruk piruk persengketaan yang mengatasnamakan agama itu terdapat komitmen dan kecondongan pada kebenaran. Hanya saja kelihatannya pohon kebenaran itu tumbuh dibarengi oleh rumput-rumput liar serta duri sebagaimana halnya tanaman padi di tanah sawah yang subur telah ikut tumbuh pula rerumputan yang tidak dikehendakai.
Komaruddin dan Wahyuni Nafis, menerangkan bahwa pandangan perennial sama sekali tidak menyamakan semua agama. Sebaliknya filsafat perennial mengakui setiap rincian dari suatu tradisi sakral yang sebagai yang berasal dari surga dan karenanya harus dihargai dan diperlakukan dengan hormat. Aliran ini sepenuhnya mengakui otentisitas spiritual tertentu dari setiap agama dengan segala keunikannya, dan menekankan bahwa keistimewaan-keisttimewaan tersebut dilihatnya sebagai bukti bahwa ia memilki sumber transendental yaitu intelek ilahi.
Titik persamaan agama-agama yang dibicazrakan dalam tradisi perennial adlah persamaan transendental yang otentik yang melampaui setiap bentuk dan manifestasi lahiriah dan tidak akan pernah binasa dikarekanakn oleh adanaya perubahan ruang dan waktu. Di sinilah satu karakter poko tradisi perennial bahwa ia tetap memandang bentuk-bentuik (dari agama apapun) sebgai keistimewaan partikular yang harus dihormati, dan oleh karenanya pluralitas agama adalah sejalan dengan kehendak ilahi yang memiliki masa depan. Sejauh bentuk-bentuk tersebut memiliki turunan spiritual dari Yang Absolut, maka ia tetap akan memiliki kekuatan untuk terus hidup dan diyakini oelh para penganutnya. Tradisi perennial dalam hal ini dituntut untuk selalu memberikan pemaknaan dan proteksi atas segala fenomena eksoterisme keagamaan, tidak pandang agama apapun. Sudah pasti kesesatan dan penyelewengan akan terjadi pada setiap agama, sebagaiman kebenarana juga aklan tetap tumbuh pada setiap agama. Kesesatan dalam tradisi perennial akan terjadi jika suatu bentuk eksoterisme sudah tidak lagi merupaka turunan atau pancaran dari nilai spiritual yang hakiki. Oleh karenanaya peristiwa semacam ini bisa terjadi pada setiap agama, juga pada sekte-sekte yang terdapat pada masding-masing agama sebagai produk perpecahan historis dan teologis.
Pendekatan perennial ini, walaupun secara toeritis memberikan harapan dan kesejukan, namun belum secara luas dipahami dan diterima kecuali oleh sekelompok kecil saja. ,menurut Nashr mengapahanya sekelompok kecil saja, jawabannya bisa dicari dalam hakikat filsafat perennial itu sendiri. Utnuk mengikuti aliran ini, seorang sarjana tidak cukup hanya mengabdiakn peikirannya saja, melainkan seluruh hidupnya. Ia menuntu sutau penghayahatan total bukanhanya sebatas studi akademis terhadap persoalan agama, bagialairan ini, studi agama dan agama-agama adalah aktivitas keagamaan itusendiri, dan mempunyai makana keagamaan. Semua studi agama hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan. (p. 54)

D.    Monoteisme Radikal: Konsep Filsafat Perennial Mengenai Tuhan
Dari judul diatas muncul pemahaman semacam pertanyaan, bagaimana dengan agama-agama yang tidak menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai inti ajaran keagamaan mereka, apakah agama-agama tersebut yang misalnya menekannkan kehidupan duniawi lewat ajaran-ajaran moral dan komitmen sosial yang tinggi kita langsung mencap sebagai agama yang tidak benar dan tidak otentik?
Sedangkan penulis buku berupaya menekanankan bahwa filsafat perennial menentang semua relativisasi, akan tetapi juga menentang konsepsi kebenaran parochial, yaitu pandangan yang hanya melihat suatu penjelmaan tetentu dari suatu kebenaran yang kemudian menganggapnya sebagai kebenaran itu sendiri. Bahwa filsafat perennial menekankan prinsip tautology, akan tetapi prinsip ini sering dilupakan, bahwa Yang Absolut-lah yang absolut. (p. 55)
penulis buku menjelaskan, dalam setiap alam keagamaan, ditemukan adanya logos, nabi, kitab suci, inkarnasi atau sejumlah penjelmaan langsung dari alam keilahian atau pesan dari firman-Nya yang kemudian terkomuniskasikan melalui medium yang manusiawi dan alami. Dalam kehidupan primitive pengidentifikasian tuhan melalui symbol atau lambag yang telah ada, nama tuan biasanya sering diambil dari bebrapa nama binatang atau tumbuhan totem mereka.[8]
Konsep Tuhan menurut Filsafat ini kemungkian ada asumsi bahwa filasafat ini dipengaruhi juga oleh ajaran Arabi yaitu Konsep Tuhan sebagai Yang Esa sekaligus Plural dalam TajalliNya (penampakanNya) sehingga Tuhan dan Alam sebagai kesatuan ontologis yang saling melengkapi. Karena Alam adalah tempat Tuhan-yang pada hakekatnya/segi zatnya tersembunyi dan tidak dapat diketahui itu-menampakkan diri (mazhar), maka alam merupakan salah satu sifat/Atribut Tuhan yang nampak. Kesimpulan, Allah adalah transenden dalam zatnya dan imanen dalam sifatnya (bahasa sufi).[9] Keadaan yang seperti inilah yang oleh Nasr diistilahkan dengan “relatively-Absolute”.
Juga dalam setiap alam keagamaan, ditemukan hukum-hukum, symbol-simbol dan monument (seperti Ka’bah misalnya) yang biasa disakeralkan, doktrin-doktrin yang dikeramatkan oleh otoritas-otoritas tradisional, kemudian do’a-do’a yang menghidupkan agama, semua itu bersifat absolute dalam dunia keagamaan, dan tidak absolute dan tidak sacral dalam dirinya sendiri. (p. 55-56) Seperti itulah yang dikemukakan oleh komaruddin dan wahyuni nafis dalam bukunya.

E.     Islam dan Filsafat Perennial
Mungkin karena latarbelakang study yang menggunakan pendekatan historis, merasa cara pendekatan perennial ini adalah suatu langkah yang berani menembus batas-batas yang memilah keberagaman yang ada, ia melangkah sangat jauh dibanding dengan pendekatan Fenomenologi yang mematok "daerah terlarang".
Komaruddin dan Wahyuni Nafis juga juga memasukkan doktrin Kajian kaum perennialis tentang al-Tauhid dalam agama Islam sebagai ruang lingkup kajiannya. Doktrin tentang tauhid dalam Islam, menurrut pendukung perennaialis ternyata tidak secara ekslusif esensi pesannya hanya milik Islam, melainkan terlebih merupakan hatinya setiap agama. Koonsep pewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai penegasan mengenai doktrin tentang Tauhid, dan oleh karenanya dalam setiap agama doktrin tentang tauhid akan ditemukan. (p. 58)
Tradisi intelektual Islam yang secara historis telah (tampak/menampakkan diri) dalam dua aspek yaitu gnostik (ma’rifah atau irfan) dan filsafat atau teosof (al-hikmah) mamandang sumber-sumber dari kebenaran unik yang merupakan agama yang benar (din al-haq) sudah terdapat dalam ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Ajaran tersebut sudah terdapat sejak nabi Adam, yang kemudian dikembangkan oelh nabi Idris, yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikkan dengan Hermes, sebagai “father of philosophers”. Hermes itulah yang tak lain adalah nabi Idris yang telah meletakkan dan merintis cikal-bakal filsafat perennial setelahia menerima wahyu dari Tuhan. Dari nama Hermes inilah baru lahir apa yagn disebut filsafat Hermeneutik, yang intinya adalah suatu kajian filosofis utnuk mengenal inti pesan Tuhanyang berada di balik ungkapan bahasa. (p. 59)
Maka yang terjadi dengan kasus Hermes ini adalah terjadinya dualitas antar esensi pesan dan bentuk atau medium untuk mengekspresikan pesan Tuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, Hermeneutik yang sering digunakan sebagai metode tafsir untuk menggali pesan Tuhan yang perennial, di balik wadah bahsa yang terikat oleh budaya dalam ruang dan waktu.