Sabtu, 13 Agustus 2011

Metafisika


Metafisika

Istilah metafisika berasal dari kata Yunani,  meta ta physika yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-benda fisik dengan meniadakan yang lahir.[1] Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence).[2] Menambahkan definisi dari pada metafisika dalam buku Pengantar Filsafat oleh Burhanuddin Salam, bahwa metafisika merupakan hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transcendental, yaitu di luar atau diatas kemampuan dan jangkauan pengalaman manusia.[3] Atau dalam bahasa Arab biasanya dikenal dengan istilah ma wara'a al-thabi'ah.
Istilah ini berbeda lagi dengan istilah yang digunakan oleh Aristoteles tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan proto philosophia atau first philosophy (filsafat pertama). Artinya, istilah ini pertama dimuat dengan usaha untuk menjelaskan tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan, sesuatu yang ada di belakang gejal-gejala fisik sepertii bergerak, berubah, hidup, dan mati.[4] Dengan demikian, metafisika merupakan pembahasan dari pada cabang tertua dari filsafat yang spekulatif filosofis tentang realitas yang tidak dapt dicapai melalui indera.
Problema metafisika erat hubungannya dengan sebuah konsepsi seseorang tentang watak yang fundamental dari alam. Dan banyak dari pada filosof-filosof yang percaya bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam empiris, yaitu metafisika.[5]


[1] Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas & Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal: 48
[2] Drs. Rizal Mustansyir & Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal: 10-11
[3] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal: 139
[4] Loc.cit, Filsafat Ilmu, hal: 11
[5] Titus, Smith, & Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal: 20

Kalam


Kalam (الكلام)

Mengutip langsung dari buku Ilmu Kalam karya Dr. Amal Falhullah Zarkasyi, M.A, Ibnu Khaldun menerangkan di dalam muqaddimahnya:
هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد علي المبتدعة المنحرفين في الإعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة.[1]
Bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyimpang dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.[2] Sedangkan Al-Ghazali mendeskribsikan Kalam sebagai hal al-ra'y aw al-nadzar yaitu kelompok yang mengklaim sebagai ahli pikir dan selidik.[3]
Selain itu kalam sendiri memiliki beberapa nama yang lain, yaitu Ilmu Tauhid, Ushuluddin, Aqidah Islamiyah, dan  al-Fiqhu al-Akbar. Nama-nama ilmu tersebut juga dikatakan dengan ilmu kalam karena pokok diantara nama-nama ilmu tersebut memilik tujuan dan pokok pembahasan yang sama seperti apa yang ada pada ilmu kalam. Antara lain adalah pembahasna mengenai keesaan Allah, prinsip-prinsip agama Islam, dan juga membicarakan tentang kepercayaan Islam.
Adapun pembahasan ilmu ini dinamakan ilmu kalam adalah karena dasar ilmu kalam ialah dali-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. mereka sangat jarang mempergunakan dalil naqli, kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasrkan dalil-dalil fikiran. Dan juga persoalan yang paling penting dalam ilmu ini yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriyah adalah persoalan apakah Kalam Allah itu qadim atau Hadist atau apakah Al-Qur'an itu makhluk atau bukan.[4]
persoalan pertama yang muncul di kalangan umat islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah ke dalam beberapa firqah (kelompok/golongan) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda. Berawal ketika khalifah Ustman dibunuh, lalu mendengar keputusan Ali dengan tidak memberikan hukuman terhadap orang yang telah membunuh Ustman, maka para pengikut-pengikut Ustman marah dengan keputusan yang diambil oleh Ali tersebut, akhirnya muncullah permasalahan tentang "dosa besar" diantara mereka. Dari sinilah maka muncullah beberapa kelompok firqah, yang akhirnya lahir ilmu kalam.


[1] Dr. Amal Fathullah Zarkayi, M.A, Ilmu al-Kalam, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah wa Qadhayaha al-Kalamiyah, Darussalam Gontor, Ponorogo, 2006, hal: 3
[2] Drs. H. sahilun A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal: 3
[3] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, a Studi in Islamic Philosophies of Science, Institute for Policy Research, Malaysia: Kuala Lumpur, 1992, hal: 182
[4] Ibid, Pengantar Ilmu Kalam, hal: 5-6

Aksiden


Aksiden (العرض)

Aksiden adalah kualitas atau sifat yang ditambahkan ke dalam atom (zat) dan selalu dalam bentuk pasangan dan berlawanan, yang mana sifat yang ditambahkan ke dalam atom tersebut bersifat sementara. seperti contoh yang telah disebutkan diatas bahwa kaualitas atau sifat batu tersebut adalah keras. Keras memiliki pasangan yang berlawanan yaitu lunak. Inilah yang disebut dengan aksiden, akan tetapi hanya salah satu sifat saja yang dapat aktif.
Aksiden selalu berbentuk yang saling berlawanan, dan setiap aksiden hanya memiliki satu sifat saja dalam waktu yang sama. Aksiden hanya ada di satu waktu atau periode tertentu dan bersifat sementara, dan ketika aksiden itu ada maka disebut dengan baqa' dalam artian kekal dalam waktu temporal, dan ketika aksiden itu tidak ada maka disebut dengan fana', karena aksiden itu temporal maka atom juga. Karena Aksiden itu bersifat temporal di dalam suatu jism, oleh karena itu atom ikut temporal juga. Jika aksiden suatu benda mati atau hilang maka atom juga akan ikut hilang. [1]
Orang-orang sekuler mengatakan bahwasanya di dunia ini tidak. ada hokum sebab akibat, bahwa apa yang terjadi di dunia ini semua adalah sebuah proses alami. Dan melalui teori atom dan jauhar inilah yang menjawabnya.
Ini menunjukkan bahwa Allah memiliki iradah, bahwa semua apa yang kita lakukan merupakan kehendak dan keputusan yang diinginkan oleh Tuhan. Namun, ketika manusia berusaha merubah aksiden terhadap suatu benda, Tuhan juga memutuskan memberi aksiden kepada kita ketika itu.[2]


[1] Catatan kuliah materi Filsafat Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A, M.Phil
[2] Catatan kuliah materi Filsafat Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A, M.Phil

Atom


Atom (الجوهر)

Atom adalah substansi, yang berarti sesuatu yang ada dalam dan dari dirinya sendiri. Di situlah terdapat sifat-sifat, watak-watak, serta kualitas-kualitasnya.[1]
Dalam bahasa Yunani, yaitu dari kata a berari tidak, dan toom berarti terbagi, jadi atom adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi. Sedangkan menurut Leukipos, dikatakan oleh Muhammad Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani bahwa dialah pujangga yang pertama kali mengajarkan dari hal atom ini, menurutnya atom adalah benda yang sekecil-kecilnya, bagian penghabisan daripada segala barang. Tiap-tiap benda terjadi daripada perhubungan atom itu tidak kelihatan, akan tetapi ia tetap ada, tidak menghilang atau tidak berubah-ubah.[2]
Ketika membicarakan mengenai teori atom, berarti istilah tersebut juga akan membicarakan mengenai suatu penciptaan, pertanyaannya adalah bagaimankah Allah menciptakan? Hal tersebut selalu berhubungan dengan aksiden. Karena suatu atom pasti mengandung aksiden. Berbagai ahli berbeda dalam penggunaan term ini, orang Yunani mengatakan atom dengan fisik, mutakallimin mengatakan bahwa atom adalah sesuatu yang tidak terlihat, di dalam Kristen menyebutnya dengan substansi, dsb.
Sebagai contoh: Batu adalah atomnya, sedangkan keras adalah aksiden atau sifat daripada batu tersebut. Allah menentukan bahwa batu terebut bersifat keras, karena Allah memberikan terus-menerus aksidennya. Tuhan memberikan suatu perintah, karena perintah inilah suatu benda itu akan ada. Dengan demikian, bahwa teori atom terebut adalah berusaha untuk menjelaskan dengan adanya qudrah, iradah, 'ilm, dan hay-Nya.


[1] Titus, Smith, & Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal: 519
[2] Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas & Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal: 43

sejarah timbulnya filsafat Islam menurut teori worldview! Dan perbedaan dengan teori sejarah filsafat Islam menurut orientalist!


Pada awalnya, filsafat selalu identik dengan ilmu pengetahuan, artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Dan sbelum membahas mengenai sejarah timbulnya filsafat Islam terlebih dahulu saya akan berusaha menjelaskan tentagn teori worlview (pandangan hidup).[1]
Islam yang turun membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadanya dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan (view) fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya.[2] Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama dan sekaligus peradaban yang memiliki bangunan konsep yang disebut pandangan hidup (worldview).
Secara umum, bahwa worlview memiliki pengertian sebagai filsafat hidup ataupun prinsip hidup. Sebaimana analisa yang telah dilakukan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A, M.Phil beliau menjelaskan bahwa istilah worlview dalam bahasa Inggris tidak ada cakupan makna tentang pandangan hidup yang menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideology. Beliau menjelaskan bahwa menurut Ninian Smart, seorang pakar kajian perbandingan agama memeberikan pengerian worlview sebagai kepercayaan, perasaan, dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor guna keberlangsungan dan perubahan social dan moral. Dilanjutkan dengan pengertian dari Thomas F Wall, ia memaknainya sebagai system kepercayan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, serta tentang makna eksistensi.[3] dari ini dapat dipahamai bahwa worldview secara umum digunakan sebagai tolak ukur untuk mebedakan.
Akan tetapi, ketika worldview dalam pengertian secara umum adalah sebagai tolak ukur atau system keprcayaan untuk membedakan, maka ketika worldview diberikan kata sifat Islam, dengan demikian kata tersebut telah mengalami perubahan definisinya. Artinya istilah wordlview hanya dipakai sebagai pinjaman.
Dalam tradisi Islam penggunaan istilah worldview sendiri berbeda-beda, namun sejak itu mulailah sepakat mengggunakn terma khusus dalam  pengertian worldview walupun berbeda dalam mengistilahkannya antara satu dengan yang lain. Antara lain misalnya adalah Maulana al-Mawdudi yang menggunakan istilah Islam Nazariat (Islamic vision), kemudian Sayyid Qutb menggunakan al-Tasawwur al-Islami (Islamic vision), Mohammad Atif al-Zayn mengistilahkan al-Mabda' al-Islami (Islamic principle), sedangkan Syed Naquib al-Attas menamakannya dengan Ru'yatul Islam lil wujud (Islamic Worlview). Walupun istilah yang dipakai berbeda-beda, namun para ulama secara keseluruhan sepakat bahwa Islam memliki cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu.[4] Dengan demikian Islamic Wordview inilah yang terpenting sebagai framework dalam mengkaji sejarah filsafat Islam.
Menurut Al-Attas, worldview Islam didefinisikan sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud, karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka dari itu worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru'yat al-Islam lil wujud).[5]
Jika sejarah munculnya filsafat Islam ditelusuri mengggunakan worldview Islam, maka akan ditemukan bahwa peran Islam yang sangat dominan. Filsafat Islam akan dipahami sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam yang konsep-konsep dasrnya berakar pada al-Qur'an dan Hadits yang kemudian ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama sehingga menggambarkan struktur konsep yang berbeda dari filsafat Yunani. Karena sumber pemikiran filsafat Islam adalah wahyu, maka kajian filsafat Islam dimulai dari konsep-konsep seminal (seminal concept) dalam al-Qur'an dan dilanjutkan dengan kajian terhadap pemahaman, penafsiran, penjelasan dan pengembangan konsep-konsep tersebut oleh para pemikir Muslim.[6]
Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh para orientalis, jika filsafat Islam dikaji dari konsep-konsep yang berasal dari peradaban Islam, maka filsafat Islam dan filsafat Yunani akan tampak sangat berbeda sekali. Bersumber dari wahyu jika dikaji dari konsep-konsep yang berasal dari peradaban Islam, dan bersumber dari akal jika itu dikaji dari Yunani.
Tradisi intelektual Barat, mengatakan filsafat Islam hanya sekedar filsafat Yunani dalam baju Arab. berbagai bentuk pemikiran dalam tradisi intelektual Islam hanyalah modifikasi dari pemikiran orang-orang Yunani. Pernyataan yang dilontarkan oleh para orientalis yang seperti ini berdampak kepada pengkajian sejarah filsafat Islam, para pengkaji filsafat Islam selalu memulai dengan sosok Al-Kindi sebagai filsuf yang pertama mengenalkan filsafat Yunani ke dalam Islam. Hal tersebut berdampak bahwa sebelum Al-Kindi tidak ada pemikiran yang filosofis dan akan berdampak kepada penafian Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Framework seperti ini sangat umum dikalangan para orientalis dan banyak diikuti oleh cendekiawan Muslim. Dalam buku-buku pedoman Kurikulum Perguruan Tinggi Islam Indonesai, bahwa pengkajian filsafat berangkat dari asumsi bahwa filsafat Islam adalah filsafat peripatetik dan filosof Muslim pertama adalah al-Kindi. Framework ini jelas menjelaskan bahwa filsafat Islam hanya sebatas filsafat Muslim Aristotelianisme.[7]
Jadi, perbedaan sejarah munculnya filsafat Islam menurut teori worldview Islam dengan teori orientalis, yang pertama adalah tentang prinsip, para orientalis lebih berprinsip dengan dikotomi, sedangkan dalam pandangan hidup Islam lebih berprinsip kepada Tauhid. Yang kedua tentang makna realitas, para orientalis memandang makna realitas sebagai pandangan social, cultural, dan empiris, sedangkan pandangan hidup Islam berdasrkan pada kajian metafisis.[8]
Dengan demikian, pandangan hidup (worldview) Islam secara epistemologis memiliki peran terpenting sebagai framework dalam mengkaji sejarah filsafat Islam serta sebagai system pemikiran yang terdiri konsep-konsep penting suatu perdaban. Hal ini penting dilakukan sebab Filsafat Islam telah dipahami dengan menggunakan pandangan hidup dan framework Barat seperti yang telah dilakukan oleh para orientalis maupun para ahli peneliti dalam wacana keislaman (Islamolog) yang memiliki cara pandang sendiri terhadap Islam.
Jika sumber filsafat Yunani adalah akal, maka sumber filsafat Islam adalah wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penejelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting yang ada di dalam Al-Qur'an da Al-Sunnah.[9]


[1] Penjelasan mengenai teori worldview disini masih banyak merujuk dan mengutip dari makalah-makalah yang ditulis oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, M.phil dalam beberapa majalah ISLAMIA dan jurnal TSAQAFAH.
[2] http://wawankardiyanto.wordpress.com/
[3] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, M.Phil, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah ISLAMIA Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II, Nomor 5, April-Juni 2005, hal: 10
[4] Ibid, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, hal: 11
[5] Ibid, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, hal: 11
[6] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A, M.Phil, Framework Kajian Filsafat Islam dalam Jurnal TSAQAFAH Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Volume: 2, Nomor: 2, 2006/1427, hal: 297
[7] http://wawankardiyanto.wordpress.com/
[8] Ibid, Worldview Sebagai Asas Epistemologi, hal: 13
[9] Ibid, Framework Kajian Filsafat Islam, hal: 277

Ilm al-Asrar: Teori Intuisi Ibnu 'Arabi


Ilm al-Asrar: Teori Intuisi Ibnu 'Arabi
tugas kuliah oleh fahad aminudin

A.    Pendahuluan
Ilmu pengetahuan memiliki peranan yang sangat signifikan dalam memberikan sumbangan bagi kemajuan peradabannya. Mengakaji tentang ilmu pengetahuan, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai alat atau sumber-sumber untuk mendapatkannya. Secara umum dapat dikatakaan bahwa ada tiga fakultas yang digunakan untuk memperoleh sebuah ilmu, antara lain yaitu akal, indera, dan hati. Masing-masing dari ketiga fakultas tersebut telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pegembangan pengetahuan. Akal dan indra telah melahirkan beberapa aliran seperti rasionalisme, empirisisme, positivisme, materalialisme dan sebagainya. Sementara hati telah melahirkan aliran intuisionisme, yaitu aliran yang mensuperioritaskan kemampuan intuisi.
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Munqid Min al-Dhalal mengklasifikasikan para pencari kebenaran ke dalam empat kelompok. Mutakallimun (teolog), Falasifah (filosuf), Ta'limiyah atau Batiniyah dan Sufi. Para Mutakallimun adalah kelompok yang mengklaim sebagai ahli fikir dan selidik (ahl al-ra'yi wa al-nadzar), sedangkan para filosuf adalah mereka yang megklaim dirinya sebagai ahli mantiq dan demonstrasi apodeiktik (ahl mantiq wa al-burhan), kemudian Ta'limiyah atau Batiniyah adalah aliran yang beranggapan bahwa kebenran terletak di tangan seorang imam, sementara Sufi adalah kaum yang meletakkan kebenaran pada visi-visi mistis (musyahadah), dan iluminasi (mukasyafah).[1]
Menurut Al-Ghazali, dari keempat kelompok diatas, sufilah yang dianggap paling unggul. Ia mengatakan bahwa ilmu yang diperoleh sufi itu langsung dari Allah SWT melalui penyinaran dan pencerahan dari-Nya. Dengan kata lain Sufi telah melatakkan pijakan ilmu dalam naungan intuisi atau dzauq (rasa).[2]
Diantara tokoh sufi terkemuka yang memberikan perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan jenis ini adalah Ibnu 'Arabi. Lewat bukunya al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikam akan pemakalah coba untuk mendeskripsikan bagaimanakah Teori Intusi menurut Ibnu 'Arabi.

B.     Biografi Singkat Ibnu 'Arabi
Ibnu 'Arabi diahirkan di Murcia, sebelah selatan Andalusia (Spanyol) pada tanggal 27 Ramadhan 560 H yang bertepatan dengan 8 Juli 1165 M. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn 'Ali Ibn Ahmad Ibn Abdullah all-Tha'I al-Hatimi, nenek moyangnya berasal dari Arab, yaitu dari marga al-Ta'I, sedangkan ayahnya bernama Ali bin Muhammad yang dikenal sebagai seorang ahli Hadits, zuhd dan sufi, sementara kakeknya adalah mantan hakim agung Andalusia. Ibnu 'Arabi memiliki beberapa panggilan diantaranya Muhyiddin yang berarti seorang penghidup agama. Ia juga digelari sebagai al-Syaikh al-Akbar[3] yakni seorang pemimpin yang agung, gelar tersebut tidak lain karena Posisinya serta pengaruhnya yang sangat besar dan luar biasa dalam kalangan tasawwuf sampai akhirnya ia disebut dangan gelar al-Syaikh al-Akbar. Sebagian kaum skolastik di Eropa mengenalnya dengan baik.[4]
 Dia adalah seorang mistikus panteistis besar sekaligus pemikir yang sangat orisinil, yang memanfaatkan banyak system pemikiran, termasuk Hellenisme. Dia adalah seorang yang percaya bahwa dia mendapatkan iluminasi Cahaya Ilahiyah di dalam dirinya dan dalam cahaya yang dirasakannya sehingga dia dapat melihat misteri-misteri yang Tak Terlihat, mewujud.[5]
Ketika ia berumur delapan tahun keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dimana Ia memulai untu menuntut ilmu-ilmu agama dan belajar al-Qur'an, Hadist, Teologi, filsafat Skolastik serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yang terkenal, yaitu Ibn Hazm al-Zhahiri. Setelah berumur tigapuluh tahun mulailah ia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat. Di berbagai daerah ini ia belajar kepada beberapa orang sufi, diataranya adalalah Abu Madyan al-Ghauts al-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi antara Hijaz, Yaman, Syam, Irak dan Mesir. Dan akhirnya pada tahun 620 ia tinggal di HIjaz kemudian ia wafat disana pada tanggal 28 Rabi'ul Tsani  638 H, bertepatan dengan tanggal 17 November 1240 M. makamnya sampai saat ini masih terelihara dengan baik di pegunungan Qasiyun.[6]
Ia adalah seorang tokoh sufi yang produktif, ia banyak menulis dalam berbagai bidang seperti tasawwuf, metafisika, kosmologi, psikologi dll. Sebagai tokoh yang controversial, Ibnu 'Arabi sering dipuji, disanjung, sekaligus dihujat, dicemooh dikafirkan. Ia dihujat dan ditentang karena banyak pendapatnya yang dianggap berbahaya. Namun dalam makalah sederhana ini pemakalah tidak akan membicarakan panjang lebar mengenai pendapatnya yang dianggap controversial oleh beberapa orang.

C.    Karya-Karya Ibnu 'Arabi
Para ilmuwa bebeda pedapat tentang jumlah keseluruhan karya Ibnu 'Arabi, Brockleman menyebutkan 150 karya,[7] juga diriwayatkan bahwa ia telah berhasil menyusun sampai lima ratus karya di bidang tasawwuf, kebanyakan masih dalam bentuk manuskrip, diantara karya Ibnu 'Arabi yang paling penting adalah al-Futuhat al-Makkiyah,[8] Fusuhus al-Hikam, serta Tarjuman al-Asywaq.[9] Sementara itu al-Sya'rani menyebutkan bahwa karya yang ditulis oleh Ibnu 'Arabi sebanyak 400.[10]

D.    Sumber Ilmu Pengetahuan
Mengakaji tentang ilmu pengetahuan, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai sumber-sumber untuk mendapatkannya. Secara umum dapat dikatkaan bahwa ada tiga fakultas yang digunakan untuk memperoleh sebuah ilmu, antara lain yaitu akal, indera, dan hati.
Dalam pandangan Al-Ghazali, terdapat dua sumber ilmu, yaitu sumber insaniyah dan sumber rabbaniyah. Sumber insaniyah merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diusahakan oleh manusia dengan jalan ta'allum dan tafakkur. Itupun masih harus mendapatkan verifikasi dari petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah. Sedangkan sumber rabbaniyah adalah sumber ilmu yang merupakan anugrah pemberian dari Tuhan baik melalui jalan wahyu maupun ilham.[11]
Sementara Abied al-Jabiri, seorang antropolog sekaligus intelektual asal maroko yang belakangan ini terkenal dengan rekonstruksi epistemology Islam yaitu epitemologi bayani, yang merupakan symbol dari keilmuan Islam yang menempatkan Nash (al-Qur'an dan al-Hadist) sebagai al-Ashl. Lalu epistemologi 'irfani, merupakan kerangka dasar bagi keilmuan Islam yang bersumberkan kepada pengalaman spiritual dari Tuhan, sebagaiman berkembang dalam tradisi sufi. Dan yang terakhir epsitemologi burhani merupakan simol dari keilmuan Islam yang menekankan aspek rasionalitas sebagai pembacaan atas fenomenal natural.[12]
Dari beberapa klasifikasi diatas bahwa kira-kira bisa diambil benang merah bahwa keterkaitan dari pernyataan tersebut yang mendapatkan perhatian besar adalah pengetahuan yang berasal dari hati. Bahwa sumber pengetauan yang datang lewat hati, yang dengannya kita dapat melihat Tuhan, yang artinya berarti hati dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.

E.     Pengertian Intuisi
Secara etimologi, intuisi dalam bahasa Inggris intuition, berasal dari kata latin intueri dari dua kata in yang artinya pada dan tueri yang artinya melihat, yang memiliki pengertian sebagai daya atau kemapuan untuk memiliki pengetahuan segera dan lansung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio.[13] atau dari kata inteurn yang artinya melihat seketika. Secara etimologis intuisi adalah sebuah doktrin kebenaran secara tiba-tiba tanpa konsistensi pemahaman. Intuisi adalah pemahaman yang tiba-tiba tantang sesuatu tanpa melalui proses pemahaman ataupun pembelajaran.[14]
Dalam pandangan para sufi, ini adalah norma terkaji epistemoligis yang merupakan ilmu pengetahuan yang datang langsung dari Allah tanpa mekanisme pemahaman atau pembelajaran, yaitu ilmu yang datang secara tiba-tiba serta tdak diketahui kedatangannya, ilmu yang sering disebut dengan makrifat (gnosis) yang berarti penyinaran atau pencerahan yang datang bagaikan kilat.[15] Hal ini merupakan anugerah Ilahi terhadap hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Ilmu jenis ini tidak dapat dipelajari, diajarkan ataupun ditransfer ke orang lain.
Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada seorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.[16]
Melengkapi beberapa deskripsi tentang intuisi, Henry Bergson pelopor aliran intuisionisme dalam dunia Barat, menurutnya intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kenungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Hal ini aliran intuisionisme setidaknya tidak mengingkari nilai inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalaui intuisi.[17]

F.      Jenis-Jenis Intuisi (Ilm al-Asrar) Menurut Ibnu 'Arabi
Ibnu 'Arabi menyatakan dalam mukaddimah Futuhat Makkiyah-nya bahwa ilmu dibagi menjadi tiga bagian: (1) Ilm al-aql, yaitu ilmu yang berhubungan dengan penalaran, pemahaman, dan pendekatan rasional, (2) ilm al-ahwal,[18] yaitu ilmu yang tidak dapat diperoleh kecuali melalui dzauq atau rasa, (3) yang terakhir adalah ilm al-asrar, yaitu ilmu yang berada diatas batas-batas akal, yang tidak lain hanya diperoleh memalui intuisi yang dikhususkan kepada para Nabi dan Wali.[19]
Asrar merupakan bentuk jama' dari sirr, yang berarti pusat spiritual. Para sufi mengatakan, sesungguhnya akal secara simbolik bertempat tinggal di dalam hati, hati inilah yang disebutkan oleh para sufi sebagai pusat spiritual, begitu juga perhatian Ibnu 'Arabi terhadap hati tersebut. As-Sirr merupakan substansi halus dan lembut yang datang dari Sang Ilahi secara langsung. Inilah tempat paling tersembunyi dimana Allah memanifestsikan rahasia-rahasia-Nya. As-Srirr berupa focus pengetahuan Ilahi (ma'rifat).[20] Dengan demikian, ilm al-asrar adalah pengetahuan Ilahi diatas batas-batas akal yang datang tanpa pembelajaran, yang mana biasanya dikhususkan kepada para Nabi dan Wali.[21]
Ada beberapa jenis intuisi (Ilm al-Asrar) yang dikemukakan oleh Ibnu 'Arabi, diantaranya adalah ilham, ilmu ladunni, wahyu, mukasyafah, al-ru'ya al-shadiqah, dan lebih rincinya akan dijelaskan dibawah ini.

1.      Ilham
Ilham dapat diartikan dengan inspirasi atau pancaran Ilahi atau sesuatu yang didatangkan Allah ke dalam jiwa manusia sehingga membangkitkan keinginan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Secara terminologys ilham dalam inspirasi atau cahaya ilahi[22] yang ditiupkan oleh ruh al-quds (malaikat Jibril) ke dalam hati para Nabi dan Wali. Dalam hal ini ilham berhubungan dengan nafs. Nafs adalah sarana Allah menginspirasikan kebaikan untuk dilaksanakan dan kejahatan untuk ditinggalkan. [23]
Sementara Al-Jurjani dalam at-Ta'rifat mengatakan bahwa ilham adalah sesuatu yang dibisikkan ke dalam hati melalui limpaan karunia ilahiyah. Dikatakan juga bahwa ilham adalah sesuatu yang ada di dalam hati, berupa ilmu pengetahuan yang mengajak kepada amal, tanpa didasarkan pada ayat dan tanpa melihat pada dalil.[24] Dari beberapa definisi diatas dapat disimplkan bahwa ilham berkaitan dengan suatu pancaran ilahi yang ditiupkan atau dibisikkan ke dalam hati orang-orang yang diistimewakan diantara hamba-hamba-Nya yang berupa ilmu pengetahuan.
Lebih sederhananya bahwa Allah merefleksikan dirinya kedalam dua cara, yaitu secara individu atau yang bersumber dari Allah langsung dan secara kolektif atua bersumber dari malaikat-Nya. Dengan cara individu yakni memasukkan ilmu ke dalam hati hambanya secara personal sedangkan dengan cara kolektif bereti dengan cara Allah menurunkan pesan-pesannya melewati malaikat-Nya kepada para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh komunitas manusia.

2.      'Ilm al-Ladunni
Ladun dari bahsa Arab yang berarti dari sisi, maksudnya ilmu yang didapatkan langsung dari sisi Allah. Ilmu laduni merupakan ilmu yang didapatkan tidak menurut prosedur biasa, seperti dengan membaca, bertanya, atau meneliti, akan tetapi ilmu ini didapatkan dengan firasat, ilham, atau petunjuk langsung dari Allah.[25]
Al-Ghazali mendefinisikan laduni sebagai ilmu yang datang melalui ilham dan kasyf yang dipacarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati manusia tanpa melalui belajar.[26] Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Ibnu sina dengan ilmu yang datang melalui cahaya ilham dan menghasilkan ilmu pengetahuan.[27]
Ilm al-ladunni tidak banyak berbeda dengan ilham, akan tetapi menurut Ibnu 'Arabi materi atau isi dari ilmu ladunni adalah ilmu yang berhubungan dengan pengetahuan ilahi. Disini Ibnu 'Arabi mnemasukkan ashl al-khilqah (asal kejadian, ilmu ini disebut juga dengan pengetahuan instinktif) seperti ilmu hewan (seperti kijang yang berlari menghindar karena melihat harimau).[28] Disamping itu, para sufi menyebutkan ilmu ladunni merupakan hasil dari pengalaman amal shaleh, sehingga Allah mewariskan ilmu-Nya kepada hamba tersebut.[29]
Sedangkan ilham memiliki cakupan yang lebih luas dan berhubungan dengan jenis-jenis ilmu yang beraneka ragam. Ilham adalah ilmu yang datang atuupun pergi dengan tiba-tiba, sedangkan ilmu ladunni adalah ilmu yang bersifat tetap dan tidak bisa hilang begitu saja.

3.      Wahyu
Wahyu berarti isyarat, ilham dan al-kalam akhafiy (kata yang tersirat), Ibnu 'Arabi berpendapat bahwa wahyu adalah petunjuk ilahi yang datangnya bagaikan rantai besi yang terletak di atas batu licin yang dihantamkan oleh malaikat. Wahyu datng secepat kilat yang menghunjam ke dalam hati penerimanya. Wahyu memiliki efek yang luar biasa sehingga kedatangannya mempu mengalahkan emosionalitas orang yang mendapatkannya.
Ibnu 'Arab membagi datangnya wahyu melalui tiga cara, cara yang pertama adalah bahwa Allah mewahyukan pesan-pesan-Nya dengan tanpa perantara atua sebab apapun. Wahyu yang sejenis seperti ini disebut al-wahyu al-khafy (wahyu yang tersenbunyi) dan biasa dialam oleh siapa saja. Cara yang kedua adalah wahyu dari balik tabir, wahyu yahg termasuk jenis ini adalah antara lain visi-visi dalam mimpi (ru'ya), kasyf, ilham, dan sebagainya. Sama halnya dengan wahyu yang disebutkan pertama kali, wahyu jenis ini bisa dialami oleh siapa saja. Dan yan gterakhir adalah turaunnya wahyu lewat perantaraan malaikat yang berisi pesanpesan dan amanat untuk diampaikan kepada seluruh umat. Wahyu jenis ini disebiut juga dengan al-wahyu al-matluw (wahyu yang terbacakan) wahyu jenis ketiga ini hanya diperuntukkakn para Nabi.[30]
Secara luas proses pewahyuan ini berarti merupakan komunikasi batin dari pencipta kepada makhluk, yang dapat berlangsung dalam berbagai bentuk, manifestasinya dalam Islam terjalin dengan kepentingan institusi kenabian yang mewakili corong fisik dari komunikasi ilahi.[31]

4.      Mukasyafah
Kasf, secara lughawi berarti tersingkap, yaitu tersingkapnya sesuatu yang masih tertutup dari pemahaman, kemudian dibuka untuk seseorang hamba sehingga seakan-akan ia melihat dengan mata kepala. An-Nuri manambahkan bahwa Mukasyafah berarti tersingkapnya hati dengan ittishal, sedangkan tersingkapnya mata dengan penglihatan.[32] Kasyf merupakan suatu penglaman langsung yang datang secara mendadak yang menjelaskan hakikat sesuatu yang diungkapkan pada hati sang hamba-Nya.[33] Menurut Ibnu 'Arabi kasyf adalah ma'rifah Ilahiyah yang khusus diberikan kepada hamba-Nya yang dianggap telah siap untuk menerimanya, ini adalah metode yang paling unggul diantara metode yang lain, Ia mengungkapkan sebagai berikut: [34]
علم الكشائف أعلام مرتبة وهي الدليل علي المطلوب للرسل
وهي التي حجبت أسرار ذي عمه وهي التي كشفت معالم السبل
Ibnu 'Arabi sendiri membagi mukasyafah ke dalam tiga bagian antara lain adalah, yang petama adalah mukasyafah bil al-'ilmi (ketersingkapan melalui ilmu), kedua, mukasyafah bil al-hal (ketersingkapan melalui kondisi atau keadaan), dan yang terakhir adalah mukasyafah bil al-wajd (ketersingkapan melalui rasa)

5.      al-Ru'ya al-Shadiqah
Salah satu bentuk turunnya intuisi adalah melalui al-ru'ya al-shadiqah (mimpi yang benar). Menurut Ibnu 'Arabi mimpi yang datang dalam tidur seseorang melalui indera batin (al-hiss al-musytarak) memiliki tiga bentuk antara lain:[35]
1.      kabar gembira dari Allah (al-busyra)
2.      asosiasi pikiran sebelumnya (ketika terjaga) yang masuk ke dalam tidur
3.      mimpi yang berasal dari setan.
Menurut Ibnu 'Arabi mimpi yang berasal dari Tuhan memiliki dua kategori, yang pertama tidak membutuhkan interpretasi dalam memahami artinya, dan yang kedua membutuhkan bantuan interpretasi untuk memahami arti dari mimpi tersebut, karena mimpi itu berupa simbol. Ketika Nabi Muhammad dalam mimpinya melihat susu, hal tersebut hanyalah simbol yaitu simbol dari ilmu pengetahuan. Sedangkan ketika Yusuf kecil bermimpi melihat bulan, matahari dan sebelas bintang tunduk di hadapannnya, hal tersebut merupakan simbol. Bulan dan matahari sebagai lambang dari bapak dan ibunya, sednagkan sebelasa bintang lainnya adalah saudara-saudaranya.[36]
Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur rupa penampakan mereka.[37]

G.    Kesimpulan
Dari hasil deskripsi tentang ilm al-asrar Ibnu 'Arabi diatas, dapat kita tarik benang merah bahwa Ibnu 'Arabi menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu jenis ini, yaitu ilm al-asrar yang mana hati adalah sebagai pusatnya. Karena, dengan hati juga kita dapat melihat tuhan, kata imam Al Ghazali, hati itu dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.
Ibnu 'Arabi mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga bagian: ilm al-aql, ilm al-hal, dan ilm al-asrar, dan dari ketiga bentuk ilmu tersebut ilm al-asrarlah yang paling unggul menurutnya. Para ahli pikir sebenarnya tidak menolak keberadaan ilmu jenis ini, namun mereka hanya mengatakan bahwa untuk memperoleh hal ini sangatlah tidak mudah serta membutuhkan waktu yang tidak pendek.
Ibn Arabi adalah tokoh tasawwuf yang telah banyak menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Namun, Ajaran-ajaran tasawwufnya adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta.



H.    Referensi
A.E. Afifi, The Mistical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, S.H. Muhammad Ashraf, Pakistan: Lahore
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, a Studi in Islamic Philosophies of Science, Institute for Policy Research, Malaysia: Kuala Lumpur
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawwuf, judul asli  haqa' iq al-Tasawwuf penerjemah: Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, Qisthi Press, Jakarta, 2005
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalal, dalam Majmu'atu Rasail Imam Al-Ghazali, Darul Kutub, Beirut: Libanon, 1988
Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, Al-Luma': Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf, diterjemahkan oleh Wasmukan & Samson Rahman, M.A, Risalah Gusti, Surabaya, 2009
AS Homby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Curret English, Oxford University, Oxford
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, Darul tsaqofah li at-Tiba'ah wa al-Nasyr, Kairo, 1979
Drs. Totok Jumantoro & Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, Penerbit AMZAH, 2005
Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkyah, jilid I, Dar Sader Publisher, Lebanon: Beirut, 2007/ 1428
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Lukman Hakim, Teori Intuisi Ibnu 'Arabi dalam Jurnal KALIMAH Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume: 1, Nomor: 1, September 2002
Margaret Smith, Reading From the Mystics of Islam, diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, S.Pd, Mistikus Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2001
Mecea Eliade, The Encyclopedia of Religion 5&6, Macmillan, New York, 1986
Mohammad Muslih, Barat dan Islam: Peradaban Ilmu dan Seni dalam Jurnal KALIMAH Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Volume: 6, Nomor: 1, Gontor, Maret 2008
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2004
Mohammad Muslih, Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah (Husserl di Muka Cermin Suhrawardi) dalam Jurnal TSAQAFAH Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Volume: 4, Nomor: 2, Rabiul Tsani 1429
http://www.acehforum.or.id/member.php?u=363



[1] Abu Hamid Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dhalal, dalam Majmu'atu Rasail Imam Al-Ghazali, Darul Kutub, Beirut: Libanon, 1988, hal: 23. Lihat juga Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, a Studi in Islamic Philosophies of Science, Institute for Policy Research, Malaysia: Kuala Lumpur, 1992, hal: 181
[2] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, a Studi in Islamic Philosophies of Science, Institute for Policy Research, Malaysia: Kuala Lumpur, 1992, hal: 197
[3] Mecea Eliade, The Encyclopedia of Religion 5&6, Macmillan, New York, 1986, hal: 552
[4] Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, Darul tsaqofah li at-Tiba'ah wa al-Nasyr, Kairo, 1979, hal: 200
[5]  Margaret Smith, Reading From the Mystics of Islam, diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, S.Pd, Mistikus Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hal: 146
[6]  Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, hal: 200
[7] A.E. Afifi, The Mistical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, S.H. Muhammad Ashraf, Pakistan: Lahore, hal: xvii
[8] Sebuah ensiklopedi tentang Tasawwuf
[9] Keduanya merupakan antalogi puisinya tentang ungkapan kecintaan terhadap Tuhan
[10] A Miystical Philosophy of Muhyiddin Ibnu Arabi, hal: xvii
[11] Mohammad Muslih, Barat dan Islam: Peradaban Ilmu dan Seni dalam Jurnal KALIMAH Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Volume: 6, Nomor: 1, Gontor, Maret 2008, hal: 46. Lihat juga al-Ghazali, "Risalah al-Laduniyyah" dalam Qushur al-Awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu al-'Al, Maktabah al-Jundi, Mesir, 1970, hal: 112
[12] Barat dan Islam: Peradaban Ilmu dan Seni dalam Jurnal KALIMAH, hal: 47
[13] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal: 363
[14] AS Homby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Curret English, Oxford University, Oxford, hal: 448
[15] Dr. Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, Darul tsaqofah li at-Tiba'ah wa al-Nasyr, Kairo, 1979, hal: 7. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Rofi' Utsmani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985, hal: 5
[16] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2004, hal: 70
[17] Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, hal: 70
[18] Ibnu 'Arabi menambahkan bahwa ilmu al-hal terletak ditengah-tengah antara ilmu aql dan ilmu asrar, kebanyakan yang menaruh perhatian lebih terhadap ilmu al-hal ini adalah ahl al-tajararub. Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkyah, jilid I, Dar Sader Publisher, Lebanon: Beirut, 2007/ 1428, hal: 51
[19] Jenis ilmu yang ketiga ini menurutnya dapat dilalui melalui dua jalur, ia jelaskan dalam mukaddimah Futuhat-nya yaitu melalui jalur ilmu akal dan jalur ilmu hal, akan tetapi jalur yang pertama masih memiliki keterbatasan dalam aspek-aspek penalarannya, sebenranya akal mampu menerimanya dengan sendirinya ilmu tersebut masuk kedalam akal, akan tetapi esensi ilmu tersebut tidak dapat diperoleh melalui penalaran. Sedangkan jalur kedua adalah dengan jalan merasakan kehadiran ilmu tersebut dengan dzauq atau rasa. Ibid, al-Futuhat al-Makkyah, Jilid I, hal: 49
[20] Drs. Totok Jumantoro & Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, Penerbit AMZAH, 2005, hal: 90
[21] Dengan tampak jelas dari beberapa pengertian antara intuisi dan al-asrar, kedua-duanya memiliki kesamaan karakter yaitu pengetahuan yang datang secara langsung tanpa proses pembelajaran.
[22] Cahaya ini merupakan anugrah Tuhan dan memantul kepada siapa saja yang menginsyafinya, karena cahaya merupakan salah satu syarat diantara tiga syarat perolehan pengetahuan tentang esensi realitas, maka keberadaannya tidak bisa ditawar-tawar. Mohammad Muslih, Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah (Husserl di Muka Cermin Suhrawardi) dalam Jurnal TSAQAFAH Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Volume: 4, Nomor: 2, Rabiul Tsani 1429, hal: 261
[23] Kamus Ilmu Tasawwuf, hal: 86
[24] Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawwuf, judul asli  haqa' iq al-Tasawwuf penerjemah: Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, Qisthi Press, Jakarta, 2005, hal: 321. Lihat juga Al-Jurjani, at-Ta'rifat, hal: 23
[25] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal: 346
[26] Barat dan Islam: Peradaban Ilmu dan Seni dalam Jurnal KALIMAH, hal: 46. Lihat juga al-Ghazali, "Risalah al-Laduniyyah" dalam Qushur al-Awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu al-'Al, Maktabah al-Jundi, Mesir, 1970, hal: 112
[27] Kamus Ilmu Tasawwuf, hal: 90
[28] Lukman Hakim, Teori Intuisi Ibnu 'Arabi dalam Jurnal KALIMAH Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume: 1, Nomor: 1, September 2002, hal: 83
[29] The Mistical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, hal: 105
[30] Teori Intuisi Ibnu 'Arabi dalam Jurnal KALIMAH, hal: 84
[31] A. Majid Muhammad Mackeen, Wahyu Sebagai Kriteria Dalam Pemikiran Islam dalam Jurnal KALIMAH Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Volume:1, Nomor: 1, Semptember 2002, hal: 6. Makalah diterjemahkan oleh Nurhadi Ihsan dari makalah yang berjudul "revelational Criteria in Islamic Thougt"
[32] Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, Al-Luma': Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf, diterjemahkan oleh Wasmukan & Samson Rahman, M.A, Risalah Gusti, Surabaya, 2009, hal: 687
[33] Kamus Ilmu Tasawwuf, hal: 114
[34] al-Futuhat al-Makkyah, Jilid I, hal: 196
[35] Teori Intuisi Ibnu 'Arabi dalam Jurnal KALIMAH, hal: 84-85
[36] http://www.acehforum.or.id/member.php?u=363
[37] Ibid