Sabtu, 13 Agustus 2011

(Studi Deskriptif Analisis dalam Kitab Al-Luma’)


Abstrak
Ucapan Ekstase (As-Syathahat) Para Sufi Menurut As-Sarraj At-Thusi
(Studi Deskriptif Analisis dalam Kitab Al-Luma’)


Fahad Aminudin
Tasawwuf merupakan falsafah hidup yang kadang-kadang rumit untuk diterangkan secara detail, karena fenomena-fenomena yang terdapat didalamnya merupakan kondisi perasaan (state of feeling) yang susah untuk dipahami. Salah satu kondisi perasaan yang sulit dipahami tersebut adalah ucapan-ucapan asing yang dilontarkan oleh para Sufi ketika mengalami pengalaman ekstase (Wajd) yang luar biasa dengan Tuhan, yang disebut Syathahat. Namun kemudian, ucapan-ucapan tersebut diingkari atas ketidakbenarannya dan diyakini bahwa orang yang mengucapkannya adalah kafir. problem mengenai Syathahat ini bukanlah merupakan hal yang baru bagi para sufi. Maka, muncullah Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi (wafat tahun 378 H) dengan membawa gagasan mengenai Syathahat yang merupakan persoalan yang sangat rumit di zamannya, serta mengembangkannya secara menarik untuk memahaminya, sehingga penjelasan yang ditawarkannya menjadi bentuk yang paling awal dari beberapa penjelasan yang semacam itu. Dalam bukunya Al-Luma’, secara khusus ia menafsirkan Syathahat para sufi dan memberikan jawaban terhadap mereka yang mengingkari ucapan-ucapan seperti ini yang secara dhahirnya adalah tidak benar akan tetapi secara batin adalah benar.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk mengkaji gagasan Syathahat (ucapan ekstase) yang ditawarkan oleh As-Sarraj At-Thusi, serta menguraikan penafsirannya terhadap beberapa ucapan-ucapan Syathahat para sufi, agar dapat diketahui posisinya terhadap pelaku Syath tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penyajian pembahasan ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menguraikan pemikiran As-Sarraj At-Thusi tentang gagasan Syathahat (ucapan ekstase), serta penafsirannya terhadap beberapa ucapan-ucapan Syathahat para sufi yang terdapat dalam Luma’nya, agar dapat diketahui posisinya terhadap pelaku Syath tersebut.
Dari hasil kajian yang sederhana ini, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa Syathahat menurut As-Sarraj At-Thusi merupakan sebuah ucapan yang digunakan untuk mengungkapkan dan menerangkan Wajd yang sedang meluap dan bergejolak dengan sangat kuat dalam diri para sufi dan menguasai hatinya. Dan penulis sendiri melihat adanya kesepakatan definisi dari pada Wajd dari kalangan para sufi, yaitu rahasia Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu secara tiba-tiba tanpa disadari. Kemudian konotasi dasar yang paling ditekankan olehnya untuk memahami Syathahat itu sendiri adalah pemahaman tentang pengalaman Wajd yang sedang meluap dan bergejolak serta menguasai hati para Sufi. Selanjutnya ia juga menekankan komponen ilmu hakikat dalam Syath, karena penting bagi para pendengarnya untuk bertanya pada seseorang yang benar-benar memahami hal itu serta ahli dalam bidang tersebut. Berdasarkan penafsiran-penafsirannya terhadap Syathahat para sufi ini, penulis dapat menggaris bawahi bahwa posisinya adalah suatu pembelaan terhadap para sufi yang mengucapkan Syathahat ini.
Pada akhirnya, berdasarkan kajian sederhana ini, penulis mengakui bahwa pembahasan ini masih banyak kekurangannya, maka penulis berharap adanya peneliti selanjutnya meneliti tentang gagasan Syath menurut As-sarraj At-thusi ini secara lebih intensif dan lebih fokus. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar