Jumat, 12 Agustus 2011


Ucapan Ekstase (As-Syathahat) Menurut As-Sarraj At-Thusi
(resume skripsi oleh Fahad Aminudin)

A.    Pendahuluan
Tasawwuf merupakan jalan hidup dan cara tertentu dalam tingkahlaku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.[1] Kadang-kadang rumit untuk diterangkan secara detail, karena fenomena-fenomena yang terdapat di dalamnya merupakan kondisi perasaan (state of feeling) yang susah untuk dipahami. Salah satu kondisi perasaan yang sulit dipahami tersebut adalah ucapan-ucapan asing yang dilontarkan oleh para Sufi ketika mengalami pengalaman ekstase (Wajd) yang luar biasa dengan Tuhan, yang disebut Syathahat. Namun kemudian, ucapan-ucapan tersebut diingkari ketidakbenarannya dan diyakini bahwa orang yang mengucapkannya adalah kafir.
Salah satu tujuan Sufi yang kadang-kadang dicapainya melalui mujahadah secara terus-menerus adalah fana’, yaitu peleburan yang diikuti oleh kebertahanan dalam Allah (baqa’). Dan pengalaman yang kedua ini (baqa’) selalu dianggap sebagai suatu tindakan bebas karunia Ilahi, yang memasuki manusia, dan pengalaman yang seperti ini sering disebut dengan ekstase (Wajd), yaitu menemukan Tuhan dan menjadi tenang dan damai setelah mendapatkan-Nya. Dan karena kebahagiaan yang melebihi segalanya disebabkan oleh penemuan (Wajd) itu, kemungkinan manusia dapat kegilaan dalam kebahagiaan yang berlebih itu. Dan ini merupakan salah satu kondisi perasaan (states of feeling) yang agak rumit diterangkan pada orang lain secara detail kata-kata apapun adalah seperti Syathahat.[2]
Syatahat sendiri biasanya terjadi pada para pemula dalam pendakian ruhani, dimana ia dimaksudkan bisa sampai pada puncak kesempurnaan, maka awal pendakiannya sebagai akhir dari sebuah keinginan (iradah) nya. Maknanya adalah, permualaan dari sebuah puncak akhir dan kesempurnaan.[3] Dan ketika para sufi mencapai pada puncak akhir dan kesempurnaan tersebut adalah kesempurnaan penyatuan antara manusia dan Tuhan.[4] Maka mulailah mereka mengungkapkan tentang Wajdnya yang sedang meluap itu dengan ungkapan yang aneh untuk didengar oleh pendengarnya.
Problem mengenai Syathahat ini bukanlah merupakan hal yang baru bagi para sufi. Maka, muncullah Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi (wafat tahun 378 H) dengan membawa gagasan mengenai Syathahat yang merupakan persoalan yang rumit di zamannya, Carl W Ernst mengungkapakan bahwa ia telah mengembangkannya secara menarik untuk memahaminya, sehingga penjelasan yang ditawarkannya menjadi bentuk yang paling awal dari beberapa penjelasan yang semacam itu.[5] Dalam bukunya Al-Luma’, secara khusus ia menafsirkan Syathahat para sufi dan memberikan jawaban terhadap mereka yang mengingkari ucapan-ucapan seperti ini yang secara dhahirnya adalah tidak benar akan tetapi secara batin adalah benar.
Abu Nashr As-sarraj At-Thusi, seorang sufi abad keempat hijriyah dilahirkan di Thus, adalah seorang sufi sekaligus penulis sistematis terdahulu tentang sufisme yang banyak membicarkan tentang kajian tasawwuf pada masanya yang penuh dengan penyimpangan dalam aqidah dan ajaran kaum sufi, terutama penyimpangan orang-orang yang mengaku sebagai bagian dari mereka.[6] Dalam bukunya Al-Luma’ ia meletakkan dasar-dasar ajaran tasawwufnya, termasuk penjelasan tentang Syatahahat Sufiyah. Gagasan-gagasan yang dituangkan As-Sarraj at-Thusi dalam karya besarnya Al-Luma' merupakan warisan tasawwuf Islam yang sangat gemilang dan agung, setiap lembaran-lembarannya telah dijadikan sebagai rujukan dalam pergutuan-perguruan tinggi yang meluluskan para sarjana besar.
Beberapa ulama sufi yang dalam buku mereka telah mengambil ilmu dari Al-Luma’ milik As-Sarraj atThusi adalah seperti Hujwiri dengan bukunya yang terkenal Kasyful Mahjub, As-sullami dengan bukunya Thabaqat As-Sufiyah, Al-Klabadzi dengan bukunya At-Ta’arruf li madzhabi ahli At-Tasawuf, dan juga Qusyairi dengan risalahnya Al-Qusyairi.[7]
Salah satu tokoh Sufi Al-Alamah As-Sakhowi mengatakan tentang As-Sarraj At-Thusi adalah pengikut Ahlus Sunnah,[8] karena ia telah menggambarkan gagasan-gagasannya di bukunya secara rinci dan mudah untuk dicerna, serta disertai dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadist dan amalan-amalan Adz-Dzauq. Dengan begitu ia berkeinginan melalui bukunya Al-Luma’ untuk mengajak pembaca kepada ajaran-ajaran tasawwuf Ahlus Sunnah, karena setelah membaca bukunya belum nampak adanya gagasan-gagasan yang mengandalkan akal.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk mengkaji gagasan Syathahat (ucapan ekstase) yang ditawarkan oleh As-Sarraj At-Thusi, serta menguraikan penafsirannya terhadap beberapa ucapan-ucapan Syathahat para sufi, agar dapat diketahui posisinya terhadap pelaku Syath tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penyajian pembahasan ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menguraikan pemikiran As-Sarraj At-Thusi tentang gagasan Syathahat (ucapan ekstase), serta penafsirannya terhadap beberapa ucapan-ucapan Syathahat para sufi yang terdapat dalam Luma’nya, agar dapat diketahui posisinya terhadap pelaku Syath tersebut.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian
a.       Pengertian bahasa
Dalam kitabnya Al-Luma’, As-Sarraj At-Thusi menerangkan pengertian Syath secara bahasa dan istilah, secara bahasa penulis tersebut memberikan arti Syath yang diambil dari kata al-Harakah yang berarti gerak. Oleh karenanya ia mengatakan rumah yang digunakan untuk mengumpulkan tepung disebut al-Misythah karena banyaknya kegiatan yang bergerak untuk menggiling tepung, dan mungkin bisa jadi tepung tersebut akan meluap dari tempatnya karena banyaknya gerakan di rumah tersebut.[9]
Kemudian di tempat lain, dalam bukunya ia juga memberikan contoh selain rumah yang digunakan untuk menggiling tepung yaitu dengan gerakan air yang sangat deras ketika mengalir di sungai yang sangat kecil dan sempit maka air tersebut akan meluap keluar dari sungai.[10]
Dengan demikian As-Sarraj At-Thusi telah memberikan gambaran yang canggih untuk mengartikan Syath dari segi bahasa, yaitu al-Harakah yang berarti gerakan serta gerakan air dengan volume yang besar mengalir dengan deras di dalam sungai yang sempit sehingga penggambaran diatas dapat mempresentasikan beberapa konsep sentral untuk memahami Syath.

b.      Pengertian istilah
Sedangkan secara istilah ia menjelaskan bahwa Syath merupakan sebuah ungkapan yang dianggap aneh yang digunakan oleh para sufi untuk menerangkan sifat Wajd yang meluap dengan kekuatannya dan menggelora dengan sangat panas dan menguasai hatinya.[11] dalam kitab yang sama namun di halaman lain ia menjelaskan Syath adalah suatu ucapan yang diterjemahkan oleh lisan yang mengungkapkan tentang Wajd yang memancar dari sumbernya yang disertai dengan pengakuan, hanya saja pelakunya dalam keadaan terampas (mustajab) dan terjaga.[12]
Seperti halnya yang didefinisikan secara singkat oleh penulis biografi Sufi yang terkenal Abdurrahman As-Sullami (W 412 H), bahwasanya Syath adalah ucapan yang biasa hanya dilontarkan oleh orang khurasan, karena mereka mengunkapkan tentang kondisi perasaan mereka (state of feeling) dan tentang hakikat.[13] Pada dasarnya Sullami meniru pandangan As-Sarraj At-Thusi.
pengarang penting lainnya adalah ‘Ayn al-Qudhat Hamdani, dalam tulisannya yang berahasa Persia dia menjelaskan secara toritis arti syath namun hanya membeberkannya dalam beberpa halaman saja dalam bukunya Shakwa al-Gharib. Dan sebagai sumber, Ruzbihan Baqli jelas benar-benar mengenal degan kitab luma’ karya As-Sarraj At-Thusi, dia juga meminjam sejumlah penjelasan teknis dan penjelasan Syathahat milik As-Sarraj At-Thusi.[14] Penjelasannyapun sangat mirip dengan gagasan yang ditawarkan oleh sarraj.
Diantara para sufi yang gagasan Syathahatnya mengambil dan menyamai dengan gagasan Syathahat yang ditawarkan oleh sarraj adalah Abdurrahman sullami dan ‘Ayn al-Qudhat Hamdani, mereka berdua menyebutkan syath dengan sangat singkat, Penjelasannyapun sangat mirip dengan gagasan yang ditawarkan oleh sarraj, serta Ruzbihan Baqli, dengan jelas ia  benar-benar mengenal degan kitab luma’ karya as-sarraj, ia juga meminjam sejumlah penjelasan teknis dan penjelasan syathahiyyat milik sarraj.
Dari beberapa pengertian Syath milik As-Sarraj At-Thusi dan beberapa para Sufi terlihat bahwasanya ia ingin menerangkan dan menggambarkan gerakan-gerakan rahasia para Sufi yang sedang dalam keadaan Wajd yang sangat kuat dan menggelora sehingga mereka menampakkan sifat Wajd mereka dengan beberapa ucapan yang terdengar aneh oleh orang yang mendengarnya. Karena ketika para Sufi dalam keadaan Wajd apabila tambah kuat Wajdnya dan tidak tidak sanggup untuk memikul cahaya-cahaya hakikat yang menguasai hati nuraninya, kemudian mencuat melalui lisan al-Haq, karena pelaku dan al-Haq menjadi satu.[15] Dengan demikian penulis melihat bahwasanya Syath merupakan wadah atau sarana untuk menerangkan Wajd. Maka yang perlu diketahui adalah apa itu Wajd?
Selanjutnya As-Sarraj At-Thusi juga menekankan pada komponen pengetahuan dalam Syath bagi pendengar ucapan-ucapan ekstase ini, serta menanyakannya kepada yang benar-benar memahami itu (ya’lamu ‘ilmahu) dan memiliki pengetahuan yang sangat luas dan mendalam tentang ilmu itu (mutabahhiran fi ‘ilmiha).[16] Orang yang sekedar mendengar kemudian menghujat dan mengingkarinya akan menjadikan fitnah dan celaka, sementara orang yang tidak mengingkari dan mau bertanya kepada orang yang mengerti apa yang menjadi kendalanya, kemudian ia paham bahwa hal itu memang bagiannya, maka ia akan selamat. Karena tidak akan sanggup untuk memahaminya jika bukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Diriwayatkan dalam sebuah hadist:
"إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرْ الصَعْبَ"
Kataالصَعْبَ  dalam hadist tersebut diterjemahkan dengan suatu kehancuran, kecelakaan atau kerusakan.[17]
Dapat diketahuai oleh penulis dari beberapa pemaparan diatas bahwa As-Sarraj At-Thusi ingin menunjukkan keutamaan Ilmu Hakekat adalah yang paling utama dari beberapa Ilmu Pengetahuan Syari’ah, dan sebagai komponen utama dalam memahami Syath. Dan tidak akan mungkin terdapat pada orang-orang biasa kecuali kehendak Allah terhadap hamba yang dikhususkan oleh-Nya.

2.      Unsur-unsur Syathahat
Berdasarkan analisis Dr. Abdurrahman Badawi mengatakan bahwasanya ada beberapa unsure-unsur yang bisa mendorong para Sufi kepada pengalaman Syathahat, diantaranya adalah:
1)      Emosi dan ekstase spiritual yang sangat begejolak (شدة الوجد).
2)      Pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad (Ittihad/ الاتحاد).
3)      Sufi yang mengalami Syathahat dalam keadaan mabuk (Sakr/ السكر).
4)      Di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5)      Semuanya berjalan dengan keadaan seorang Sufi yang tidak menyadari perasaannya.
Wajd adalah berketepatannya hati pada kejernihan dzikir, dimana sebelumnya ia merasa kehilangan. Sedang menurut Junaid adalah berketepatan dan datang secara tiba-tiba sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis buku Futuhat Al-Makkiyah Ibnu Arabi, tanda-tanda datangnya ekastase (Wajd) di dalam kondisi seorang Sufi adalah seperti wahyu yang datang kepada Nabi secara tiba-tiba. Ia melanjutkan dan menjelaskan bahwa Wajd ibarat kebertepatan hati dalam kondisi hilangnya sifat-sifat nafsu serta kehilangan hadirannya.[18] Dengan demikian pemahaman utama dari Wajd adalah kebertetapatan hati dan kelangsungan secara tiba-tiba.
Disimpulkan dengan memperhatikan definisi As-Sarraj At-Thusi serta penekanan dari pendapat kedua tokoh Sufi tersebut bahwa Wajd merupakan rahasia Allah swt bagi orang-orang yang benar-benar mukmin yakin dengan keyakinannya seyakin-yakinnya yang datang pada hati para Sufi dalam keadaan dihilangkan sifat-sifat nafsu serta merasakan kehadiran Ilahi dan tersingkapnya penghalang dengan al-Haq Yang menghilangkan sifat-sifat nafsunya itu secara langsung dan tiba-tiba. Dengan demikian bahwa Syath membutuhkan unsure emosi dan ekstase spiritual yang sangat begejolak (شدة الوجد).
Sakr atau mabuk memiliki kedekatan makna dengan ghaibah yaitu ketidak hadiran (ghaib) hati dalam menyaksikan (musyahadah) makhluk (al-Khlaq) karena ia hadir dan menyaksikan (musyahadah) al-Haq tanpa mengubah lahiriah sang hamba, kemudian ia menmbahkan bahwa Sakr atau mabuk lebih kuat dan sempurna daripada al-ghaibah.[19]  Dengan demikian puncak dari Sakr lah yang menjadikan seorang sufi kepada Syath dalam keadaan dihilangkan sifat-sifat nafsunya (fana’).
Gagasan tersebut juga disamai oleh Qusyairi, karena pada dasarnya Qusyairi pernah berguru kepada As-Sarraj At-Thusi lewat karyanya, ia mengatakan orang yang sedang dalam keadaan Sakr dikatakan lebih sempurna dan lebih kuat daripada orang yang dalam ghaibah,[20] karena sumber ketika terjadi Sakr bukan dari dari tabi’at manusia, lain halnya dengan ghaibah berasal dari tabi’at mansuia sendiri, begitulah ungkap AS-Sarraj At-Thusi.
Dengan demikian gagasan As-Sarraj At-Thusi sangat berpengaruh bagi tokoh sufi setelahnya seperti bagi Al-Qusyairi bahwa apabila seorang Sufi dalam keadaan mabuk (Sakr) maka tidak akan bisa membedakan sesuatu.

3.      Penafsiran Terhadap Ucapan-Ucapan Ekstase Para Sufi
a.       Penafsiran terhadap Syathahat Abu Yazid Al-Busthami (wafat 261 H)
Pada bab ini penulis memulai memaparkan penafsiran-penafsiran beberapa ucapan ekstase dari kalangan Sufi, dengan demikian penulis memulai dengan Abu Yazid Al-Busthami, salah satu dari beberapa ucapan ekstase miliknya yang terkenal adalah "سُبْحاني سُبْحاني سبُّوح". Ucapan inilah yang sempat dikafirkan oleh Ibnu Salim di Bashrah.[21] As-Sarraj At-Thusi mengatakan: “saya mendengar suatu hari Ibnu Salim berkata ketika berada di majlisnya: Fir’aun saja tidak mengatakan seperti apa yang diucapkan oleh Abu Yazid, ia hanya berkata: saya adalah Tuhanmu yang mahatinggi, dan kata Rabb bisa saja dinisbatkan pada makhluk, seperti “si Fulan pemilik rumah dan pemilik harta”, sedangkan Abu Yazid mengatakan “Mahasuci Aku Mahasuci Aku”. Mahasuci aadalah salah satu Nama dari Nama-nama Allah yang tidak boleh disandang oleh selain Allah swt.[22]
Lalu As-Sarraj At-Thusi menolak pengkafiran Ibnu Salim dengan menjelaskan bahwa ia saat itu sedang mensucikan Allah dan memberi sifat pada Allah sebagaimana Allah member Sifat pada Diri-Nya sendiri, bahkan mungkin saja ucapan ini memiliki kaitan dengan ucapan sebelumnya yang kemudian diikuti oleh kalimat “Mahasuci Aku, Mahasuci Aku”, seperti halnya misalkan kita mendengar seorang mengucapkan:
 m¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù,
Maka akan terlintas dalam benak kita bahwa ia sedang membaca Al-Qur’an, dan pastinya memeiliki kaitan dengan ucapan sebelumnya yaitu:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB šÎ=ö6s% `ÏB @Aqߧ žwÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) m¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& È[23]brßç7ôã$$sù
Dengan demikian penulis melihat penjelasan As-Sarraj At-Thusi ingin menekankan bahwa apa yang diucapkan oleh Abu Yazid tidak seperti yang diyakini Fir’aun yang menganggap dirinya adalah Tuhan yang Maha Tinggi dialah satu-satunya Tuhan dan yang harus disembah, lain dengan Abu Yazid tidak menganggap dirinya sebagai Tuhan, akan tetapi ia sedang mensucikan Allah swt dan mensifati-Nya sebagaimana Allah memberi Sifat pada Diri-Nya sendiri.[24]

b.      Penafsiran terhadap Syathahat Abu Bakar Asy-Syibli (wafat 334 H)
As-Sarraj At-Thusi pernah mendengar dari ayah Abdullah bin Jaban berkata: saya pernah ketika memasuki rumah As-Syibli dan duduk di dalamnya, lalu saya berdiri hendak keluar dari rumahnya dan berkata kepadaku sambil mengantarkan sampai ke depan pintu rumah: “berjalanlah kemanapun sesungguhnya Aku bersamamu dimanapun kau berada, kau selalu dalam pengawasan-Ku.[25]
Telah dijelaskan olehnya dalam bukunya, bahwa makna dari ucapan Wajd As-Syibli merupakan ungkapan mentauhidkan Sang Khaliq yang sedang menguasai hatinya bahwa Dialah satu-satunya yang mengatur dan mengawasi seluruh alam semesta ini. Apabila ia berkata “Ana” maka yang dia maksudkan adalah Sang Khaliq bukan dirinya, ia mengungkapkan itu karena kedekatannya dengan Sang Khaliq, maka bagi orang tidak memahami itu akan menjadi celaka atau fitnah, dan akan selamat jika mau bertanya kepada orang yang benar-benar memahaminya dan ahli.
Ruzbihan Baqli menambahkan komentar atas ucapan As-Syibli diatas, sesungguhnya yang ia maksudkan itu adalah adanya keinginan yang kuat untuk selalu percaya kepada guru (Syeikh) yang benar, dan selalu yakin segala urusan dikerjakan atas bantuan Allah swt dan pengawasan-Nya.[26] Seakan ia hendak menunjukkan sesuai dengan firman-Nya:[27]
öNs9r& ts? ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( $tB Ücqà6tƒ `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO žwÎ) uqèd óOßgãèÎ/#u Ÿwur >p|¡÷Hs~ žwÎ) uqèd öNåkޝϊ$y Iwur 4oT÷Šr& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽsYò2r& žwÎ) uqèd óOßgyètB tûøïr& $tB (#qçR%x. ( §NèO Oßgã¤Îm6t^ム$yJÎ/ (#qè=ÏHxå tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ.
Dengan itu penulis melihat As-Syibli sedang mengalami ekstase (Wajd) ingin mengungkapkan keinginannya yang sangat kuat untuk mengesakan Allah swt secara ikhlas, maka muncullah ungkapan yang aneh bagi orang yang tidak memahaminya dengan menunjukkan sifatnya kemanusiaannya yang lemah  dan hina dihadapan-Nya. Seperti halnya Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa segala sesuatu selain Allah adalah hina dan kecil.[28] Mungkin itu adalah maksud dari ucapannya.
Namun dari ucapan ekstase (Wajd) As-Syibli menunjukkan bahwa ia masih berada dalam kondisi pemula untuk pencapaian puncak, belum terdengar ungkapan berasal darinya yang menunjukkan ia mencapai kondisi puncak Wajd atau kesempurnaan.
c.       Penafsiran terhadap Syathahat Abu Husain An-Nuri (wafat 295 H)
Namanya adalah Abu Husain Ahmad bin Muhammad An-Nuri, penulis biografi sufi As-Sullami menaruh namanya di urutan kedua setelah Tokoh Sufi terkenal Al-Junaid pada tingkatan kedua dari beberapa tingkatan yang ditulisnya. Dan salah satu ungkapan ekstase darinya adalah ucapan “aku merindukan Allah dan Dia menrindukanku” (أنا أعشق الله وهو يعشقني), pernah ungkapan tersebut sampai terdengar oleh orang yang tidak menyukainya serta mengingkari ucapan tersebut kemudian membawanya menghadap pimmpinan untuk dihakimi. Akhirnya mulailah Nuri menjelaskan kepada hakim sesuai firman Allah swt:
"يحبِّهم ويحبِّونه"
Artinya: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. Al-Maidah: 54)
Lalu Nuri melanjutkan penjelasannya kepada hakim, bahwa kerinduan (‘Isyq) bukanlah hal yang lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan kecintaan (Hubb), sebagaimana kerinduan itu terlarang sedang orang yang sedang dalam cinta dibebaskan menikmati kecintaannya. Akhirnya pun hakim menerima penjelasan Nuri dengan baik sambil menangis.
Diwaktu yang lain dikisahkan juga bahwa Nuri diadukan sekali lagi kepada hakim, dan mereka bersaksi bahwa Nuri berkata: “tadi malam aku bersama Allah di rumahku”, lalu ia ditanya tentang kebenaran tersebut, lalu iapun menjawab bahwa ucapan tersebut benar-benar yang ia katakan, dan berkata: “sekarang pun aku bersama Allah, jika aku berda di rumah maka aku bersama-Nya, dan jika aku berada dimana pun aku bersama-Nya, maka barangsiapa bersama Allah di dunia maka di akhirat pun kelak bersama-Nya.[29]” makna ungkapannya itu ia bermaksud menunjukkan firman Allah yang berbunyi:
 ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym σÍuqø9$#،[30]
Dari beberapa cerita Nuri diatas, penulis melihat ternyata orang-orang yang mengingkari serta menghujat dan orang-orang yang membawanya kepada hakim adalah dari kalangan awam yang sedikit ilmunya dan tidak mau bertanya kepada orang yang memahaminya, karena makna yang dimaksud oleh Nuri jelas-jelas ingin menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang dirasakan. Nuri adalah seorang guru Sufi di zamannya, ibadahnya baik sering disebut sebagai orang yang gigih dalam berjuang, seperti yang diungkapkan oleh Abu Ahmad Al-Mughazali “saya belum pernah melihat seseorang yang ibadahnya baik melebihi dari Husain An-Nuri”, pernah dikatakan bahwa ia berpuasa selama 20 tahun lamanya tidak seorangpun yang mengetahuinya.
Seseuai dengan kemampuan pemahaman penulis, ucapan-ucapan Nuri menunjukkan pada satu keinginan untuk memperlihatkan kecintaannya yang kuat terhadap Sang Khaliq, seakan apa-apa yang ia lihat adalah Allah dan apa yang ia ingat adalah hanya berdzikir kepada Allah, Al-Qusyairi pernah berkata sesungguhnya cinta adalah suatu kondisi yang sangat mulia karena Allah akan memperlihatkan kecintaanya pada hambanya yang mukmin.[31] Firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿçmtRq6Ïtäur.[32]

d.      Penafsiran terhadap Syathahat Abu Hamzah As-Shufi (wafat 289 H)
Diceritakan bahwa Abu Hamzah As-Shufi apabila mendengar suara hembusan angin, atau aliran air, atau kicauan burung, atau bahkan suara kambing mengembek, maka ia selalu mengucapkan “Labbaik” (aku penuhi panggilanmu) sampai-sampai ia disebut sebagai hululi.[33] Ucapan ekstase miliknya menyerupai apa yang diungkapkan oleh Nuri seperti cerita yang lalu ketika mendenngar gonggongan anjing, lalu ia mengungkapkan kecintaannya dalam keadaan ekstase (Wajd).
Kasus tersebut masih dalam lingkup satu keinginan yaitu pengakuan kecintaan terhadap Sang Khaliq maka apa yang diingat adalah selalu berdzikir kepada Allah, segala urusan adalah semata-mata atas pertolongan-Nya, menurut Dr. Muhammad Jalal Syarif kecintaan kedua-duanya diibaratkan dengan kecintaan Al-Hallaj, karena pada dasarnya adalah suatu pengakuan cinta dalam keadaan ekstase (Wajd). Dan dapat merasakan cinta adalah suatu nikmat Allah, maka boleh saja seseorang mengungkapkan atas nikmat yang diberikan oleh Allah, firman Allah:
$¨Br&ur ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsù.
Artinya: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan”.[34]

4.      Posisi As-Sarraj At-Thusi terhadap pelaku Syathahat
Mungkin topik yang paling sensitif yang dimunculkan Syathahat adalah masalah sifat ego dalam konfrontasi yang mendalam dengan Tuhan. Kapan ketafakuran yang merupakan pengalaman pemushanan egonya dan merupakan pecakapan langsungnya dengan Tuhan.[35] Perkara yang sering mengundang kontroversi dari para sufi ini adalah syatahat-syatahat yang keluar pada saat mereka mengalami ekstase spritual. Namun salah satu tokoh Tasawwuf klasik As-Sarraj At-Thusi, tidak setuju dengan adanya orang-orang yang mengingkari ungkapan-ungkapan ekstase para sufi tersebut dengan langsung mengklaimnya sebangai ucapan yang melanggar hukum Islam. Bahkan ia memberikan jawaban secara jelas terhadap orang-orang yang mengingkarinya.
Dalam sub bab ini penulis akan memaparkan posisi As-Sarraj At-Thusi terhadap ucapan-ucapan ekstase para sufi (Syathahat) yang tertera dalam bukunya Al-Luma’, dan penulis telah memulai dengan memaparkan beberapa penjelasan dan penafsiran terhadap beberapa ucapan ekstase para sufi, karena penulis tidak akan sampai pada kesimpulan sebelum memaparakan beberapan penafsiran tersebut dan akhirnya nanti penulis dapat mengetahui posisi As-Sarraj At-Thusi terhadap ucapan-ucapan eskstase.
Penulis melihat dari penjelasan-penjelasan yang dipaparkan oleh As-Sarraj At-Thusi dalam bukunya Al-Luma’, terlihat bahwa As-Sarraj At-Thusi banyak mengambil pendapat Junaid yang tidak dapat dipungkiri manhajnya dalam tasawwuf, khususnya pada penafsiran Abu Yazid dan As-Syibli, walaupun ia banyak mengambil penjelasan dari Junaid akan tetapi ia juga ikut menambahkan penjelasan dari pendapatnya sendiri. Kalau bukan karena As-Sarraj At-Thusi maka tidak akan sampai kepada kita gagasan-gagasan Junaid.
Dengan demikian sesuai kemampuan penulis menemukan bahwa penjelasan As-Sarraj At-Thusi seakan ingin menunjukkan suatu pembelaan terhadap para pelaku Syathahat, dengan cara menekankan komponen ilmu syariat adalah yang terpenting untuk memahami ucapan-ucapan tersebut.
Dengan gagasan As-Sarraj At-Thusi yang sangat menarik tersebut menjadikan beberapa tokoh Sufi setelahnya bahkan peneliti pun merujuk kepadanyalah bila dihadapkan dengan tema Syathahat, namun kekurangan dari gagasan As-Sarraj menurut penulis berdasarkan kemampuan penulis bahwa dalam beberapa halaman di bukunya menceritakan tentang eksekusi hukuman mati Husain Ibnu Mansur Al-Hallaj, namun penulis tidak menemukan penafsirannya terhadap ucapan Wajd milik Al-Hallaj, ini menunjukkan bahwa As-Sarraj At-Thusi tidak mampu untuk menerangkan Syathahatnya yang paling terkenal “Ana Al-Haqq” yang menjadi perkara rumit di zamannya. Dan bisa jadi kekurangan ini sebagai celah kelemahan As-Sarraj At-Thusi dan merupakan kesempatan bagi orang-orang yang mengingkari Syathahat para Sufi untuk menghujatnya.

C.    Penutup
Dari hasil kajian yang sederhana ini, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa Syathahat menurut As-Sarraj At-Thusi merupakan sebuah ucapan yang digunakan untuk mengungkapkan dan menerangkan Wajd yang sedang meluap dan bergejolak dengan sangat kuat dalam diri para sufi dan menguasai hatinya. Kemudian penulis melihat adanya kesepakatan definisi Wajd dari kalangan para sufi, yaitu rahasia Allah yang diberikan kepada orang-orang tertentu secara tiba-tiba tanpa disadari. Kemudian konotasi dasar yang paling ditekankan olehnya untuk memahami Syathahat adalah pemahaman tentang pengalaman Wajd yang sedang meluap dan bergejolak serta menguasai hati para Sufi. Selanjutnya ia juga menekankan komponen ilmu hakikat dalam Syath, karena penting bagi para pendengarnya untuk bertanya pada seseorang yang benar-benar memahami hal itu serta ahli dalam bidang tersebut. Berdasarkan penafsiran-penafsirannya terhadap Syathahat para sufi ini, penulis dapat menggaris bawahi bahwa posisinya adalah suatu pembelaan terhadap para sufi yang mengucapkan Syathahat ini.
Pada akhirnya, berdasarkan kajian sederhana ini, penulis mengakui bahwa pembahasan ini masih banyak kekurangannya, maka penulis berharap adanya peneliti selanjutnya meneliti tentang gagasan Syath menurut As-sarraj At-thusi ini secara lebih intensif dan lebih fokus. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Referensi
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, (Kairo: Darul Tsaqafah li at-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1979)
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, (New Delhi: Yoda Press, 1975)
Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, Al-Luma’ fi Taariikhi At-Tasawwuf Al-Islamiy, ditahqiq oleh ‘Imad Zaki al-Barudiy, (Al-Qohirah: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, tanpa tahun)
Carl W. Ernst, Word of Ecstasy in Sufism, (Malaysia: S. Abdul Majid & Co,1994) Margaret Smith, Readings From The mystics of Islam, Pir Publication Colonial Green, 1994. Diterjemahkan Ribut Wahyudi, S.Pd, Mistikus Islam ujaran-ujaran dan karyanya, Risalah Gusti, Surabaya, 2001
Reynold A Nicolshon, fi At-Tasawwuf Al-Islamiy, dinukil ke dalam bahasa Arab oleh Abu ‘Ala al-‘Afifi, (Al-Qhahirah: Mathba’atu Lajna at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1956)
Abu Abdurrahman As-Sullami, Thabaqat As-Shufiyah, (suria: darul Kitab an-Nafiis, 1986)
Abdurrahman Badawi, Syathahat As-Sufiyah, (Kuwait: Wakalatul Matbu’at: 1978), cetakan ketiga
Hamid Fahmy, “Tuhan” dalam Jurnal ISLAMIA: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Nomor 4, Tahun I, Januari-Maret 2005)
Muhyiddin Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyah Jilid Empat, (Beirut: Dar Sadr, 2008)
Abi al-Qasim ‘Abdul Karim Ibn Hawazin Al-Qushairi al-Nisaburi, Ar-Risalah Al-Qushairiyah fi ‘Ilmi at-Tasawwuf, ditahqih oleh Ma’ruf Musthafa Zariq, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah li at-Thaba’ah wa an-Nashr, 2001)
Imam Abi Hamid Al-Ghazali, Raudhaltu at-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin fi majmu’ati Rasail al-Imam al-Ghazali, (libanon: darul Fikri, 1996)


[1] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Darul Tsaqafah li at-Thaba’ah wa al-Nasyr, Kairo, 1979, hal: 3
[2] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, (New Delhi: Yoda Press, 1975), p: 178
[3] Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, Al-Luma’ fi Taariikhi At-Tasawwuf Al-Islamiy, ditahqiq oleh ‘Imad Zaki al-Barudiy, (Al-Qohirah: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, tanpa tahun), hal: 381
[4] Carl W. Ernst, Word of Ecstasy in Sufism, (Malaysia: S. Abdul Majid & Co,1994) hal: 1
[5] Ibid, Carl W. Ernst, hal: 11
[6] Margaret Smith, Readings From The mystics of Islam, Pir Publication Colonial Green, 1994. Diterjemahkan Ribut Wahyudi, S.Pd, Mistikus Islam ujaran-ujaran dan karyanya, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hal: 60
[7] Reynold A Nicolshon, fi At-Tasawwuf Al-Islamiy, dinukil ke dalam bahasa Arab oleh Abu ‘Ala al-‘Afifi, (Al-Qhahirah: Mathba’atu Lajna at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1956), hal: 200
[8] Opcit, As-Sarraj At-Thusi, hal: 21
[9] Ibid, Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, hal: 377
[10] Ibid, Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, hal: 378
[11] Ibid, Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, hal: 377
[12] Ibid, Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi, hal: 377
[13] Abu Abdurrahman As-Sullami, Thabaqat As-Shufiyah, (suria: darul Kitab an-Nafiis, 1986), hal: 37
[14] Opcit, Carl W Ernst, hal: 14-16
[15] Abdurrahman Badawi, Syathahat As-Sufiyah, (Kuwait: Wakalatul Matbu’at: 1978), cetakan ketiga, hal: 10
[16] Sarraj kemudian melanjutkan dengan menjelaskan berbagai keutamaan pengetahuan dimana pengetahuan tersebut berhubungan dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan keislaman yang ditekankan dalam sufisme: yang pertama, Ilmu Riwayah, Ilmu Atsar, dan Akhbar. Kedua, Ilmu Dirayah. Ketiga, Ilmu Qiyas, debat dan adu argumentasi terhadap orang-orang yang tidak sependapat. Dan keempat adalah ilmu yang tertinggi dari semuanya, adalah pengetahuan tentang realitas-realitas spiritual, tempat-tempat, perbuatan-perbuatan yang bersifat kesalehan, pantangan, dan perenungan tentang Tuhan. Al-luma’ hal: 377-380
[17] Hamid Fahmy, “Tuhan” dalam Jurnal ISLAMIA: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Nomor 4, Tahun I, Januari-Maret 2005), hal: 119
[18] Muhyiddin Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyah Jilid Empat, (Beirut: Dar Sadr, 2008), hal: 184
[19] Opcit, As-Sarraj At-Thusi, Hal: 341
[20] Abi al-Qasim ‘Abdul Karim Ibn Hawazin Al-Qushairi al-Nisaburi, Ar-Risalah Al-Qushairiyah fi ‘Ilmi at-Tasawwuf, ditahqih oleh Ma’ruf Musthafa Zariq, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah li at-Thaba’ah wa an-Nashr, 2001), hal: 71
[21] Ibnu Salim adalah orang yang memusuhi Abu Yazid dan banyak mengkafirkan ucapan-ucapan Syathahatnya, dan sesungguhnya kebencian dan permusuhan Ibnu Salim adalah permusuhan antar madzhab khususnya dalam tasawwuf, sedangkan dia bermadzhab mu’tazilah.
[22] Opcit, As-Sarraj At-Thusi, hal: 391
[23] QS. Surat Al-Anbiya’: 25
[24] Opcit, Carl W. Ernst, Words of Ecstacy in Sufism, hal: 51
[25] Opcit, As-Sarraj At-Thusi, hal: 395
[26] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, hal. 79
[27] QS. Al-Mujadalah: 7
[28] Imam Abi Hamid Al-Ghazali, Raudhaltu at-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin fi majmu’ati Rasail al-Imam al-Ghazali, (libanon: darul Fikri, 1996), hal: 97
[29] As-Sarraj At-Thusi, hal: 407
[30] QS. Al-Qhaf: 16
[31] Opcit, Al-Qusyairi, hal: 318
[32] QS. Al-Maidah 54
[33] As-Sarraj At-Thusi, hal: 408-409
[34] QS. Ad-Dhuha: 11
[35] Ibid, Word of Ecstacy in Sufism, hal: 17-18

1 komentar: